REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meminjam uang dari lingkaran terdekat seperti teman dan keluarga dinilai menyimpan sisi gelap yang sering kali terabaikan. Sebuah survei dari JG Wentworth terhadap 1.267 responden di Amerika Serikat menunjukkan bahwa praktik ini, yang sering kali didasari niat baik, justru berisiko mengikis fondasi hubungan. Niat membantu bisa berbalik menjadi sumber konflik, kekecewaan, dan keretakan yang bertahan lama.
Ketika kondisi keuangan sedang sulit, orang paling sering meminta bantuan kepada keluarga. Dalam survei ini misalnya, meminjam uang kepada orang tua (77,7 persen), saudara kandung (75,8 persen), dan kakek-nenek (75,7 persen) menjadi sumber utama; diikuti sepupu (75,5 persen), bibi (73,7 persen), dan paman (73,4 persen). Teman hampir tidak tercatat dengan hanya 2,8 persen, dan "teman dekat" sebesar 2,0 persen. Angka ini menunjukkan jarangnya orang bergantung pada non-keluarga untuk pinjaman tunai.
Rata-rata, responden melaporkan meminjam sekitar 297 dolar AS atau Rp4,9 juta dari teman atau keluarga, dan masih berutang sekitar 237 dolar AS atau Rp3,9 juta. Sekitar setengah (50,3 persen) dari mereka yang masih memiliki utang khawatir tidak akan mampu melunasinya secara penuh.
Dilansir laman Study Finds pada Rabu (3/9/2025), hasil survei tersebut menunjukkan bahwa meskipun pinjaman informal ini menjadi penyelamat di saat terdesak, "harga" yang harus dibayar sering kali mahal. Hampir separuh responden mengaku hal ini memicu konflik serius, dan tiga perempat di antaranya merasa hubungan mereka tidak lagi sedekat sebelumnya. Seolah ada jarak tak terlihat yang tercipta dari utang piutang.
Masalah utama bukanlah nominalnya, melainkan bagaimana pinjaman ini dikelola. Sering kali, semuanya hanya berdasar pada kepercayaan, tanpa perjanjian tertulis atau tenggat waktu yang jelas. Akibatnya, lebih dari separuh pemberi pinjaman harus berulang kali menagih, dan banyak yang akhirnya harus merelakan uang mereka hilang begitu saja.
Kondisi ini menempatkan pemberi pinjaman dalam posisi serbasalah. Mereka bisa kehilangan uang atau mereka bisa kehilangan hubungan.
Rasa frustrasi yang terakumulasi bisa sangat dalam. Survei mengungkap bahwa 48,1 persen pemberi pinjaman bahkan sempat mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum, meskipun akhirnya tidak dilakukan.
Dampak jangka panjang dari pinjaman informal ini disebut jauh lebih merusak daripada sekadar kerugian finansial. Hampir separuh responden mengaku pernah terlibat pertengkaran serius akibat pinjaman.
Lebih dari setengah pemberi pinjaman (54,5 persen) mengaku harus meminta lebih dari sekali agar dibayar kembali. Hampir setengah (49,5 persen) tidak pernah menetapkan tenggat waktu pembayaran, dan 49,9 persen tidak pernah menuliskan perjanjian.
Tanpa perjanjian yang jelas, banyak pemberi pinjaman kehilangan uangnya. Sebanyak 50,4 peminjam mengatakan mereka pada akhirnya kehilangan uang karena pinjaman yang tidak dibayar, baik sebagian maupun seluruhnya. Survei ini juga menunjukkan bahwa perempuan lebih cenderung memaafkan hutang demi menjaga hubungan (57,7 persen dibandingkan 50,3 persen-laki-laki).
Dampak permanennya bahkan lebih mengkhawatirkan yakni 75,1 persen hubungan tidak lagi sedekat sebelumnya, 71,3 persen komunikasi sempat terputus, 71,0 persen tekanan memicu kerenggangan hubungan, dan 69,1 persen bahkan mengakui bahwa hubungan mereka berakhir total.
View this post on Instagram