REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendesak pemerintah dan DPR segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengasuhan Anak setelah kematian tragis seorang balita berusia 3 tahun bernama Raya di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Raya meninggal dunia pada 22 Juli setelah dirawat sejak 13 Juli dengan kondisi tubuh dipenuhi cacing.
Ironisnya, balita malang ini tidak bisa mengakses layanan kesehatan dan bantuan sosial karena tidak memiliki nomor induk kependudukan (NIK). Akibat tidak terdaftar dalam sistem administrasi kependudukan, seluruh program perlindungan dan kesejahteraan sosial dari negara tidak dapat menyentuh Raya dan keluarganya. Selama dirawat, biaya medis yang mencapai Rp23 juta pun harus ditanggung secara mandiri dengan bantuan para pegiat sosial.
"Negara seolah gugur kewajiban hanya karena tidak ada nomor kependudukan. Padahal negara harus hadir. Kami meminta solusi yang lebih sistemik tentang penyelenggaraan pengasuhan anak di keluarga rentan," kata Wakil Ketua KPAI Jasra Putra dalam keterangan tertulis, dikutip pada Kamis (21/8/2025).
Jasra mengatakan Raya berasal dari keluarga yang tergolong sangat rentan. Sang ibu dilaporkan mengalami gangguan kejiwaan (ODGJ), sedangkan ayahnya menderita TBC. Selama ini, Raya diasuh oleh neneknya yang juga dalam kondisi terbatas.
Jasra menilai, situasi yang dialami Raya merupakan bentuk pengabaian dan penelantaran anak yang berlangsung jangka panjang, diperparah oleh kondisi orang tua yang tidak stabil secara psikis maupun fisik. Hal ini juga berdampak pada tidak diurusnya administrasi kependudukan Raya sejak lahir.
"Padahal kita tahu pencatatan kelahiran adalah stetsel aktif negara yang seharusnya memiliki afirmasi. Karena anak tidak bisa melindungi dirinya sendiri," kata dia.
RUU Pengasuhan Anak, yang sudah diperjuangkan selama lebih dari 15 tahun, menurut KPAI menjadi kunci untuk memperkuat sistem perlindungan terhadap anak dalam situasi rentan. Undang-undang ini diharapkan mampu menghadirkan kebijakan afirmatif, termasuk dalam kasus anak yang diasuh oleh ODGJ atau orang tua dengan keterbatasan fisik dan mental.
KPAI juga menyoroti pentingnya pelibatan aktif pemerintah paling bawah, mulai dari RT, RW, hingga Posyandu, dalam mendeteksi dan merespons situasi pengasuhan anak yang kritis. Negara, menurut KPAl, harus memiliki sistem yang mampu memaksa setiap lini birokrasi untuk proaktif melindungi anak-anak, terutama yang berada dalam keluarga ODGJ, miskin, atau mengidap penyakit kronis.
"Saat keluarga tidak bisa berfungsi, maka negara yang harus hadir. Karena di belakang keluarga rentan, bisa jadi ada anak-anak yang tidak terlihat, dan itu berisiko tinggi," ujar Jasra.