REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan bioskop Cinepolis Indonesia memutuskan untuk membatalkan penayangan film Merah Putih: One for All. Pengumuman ini disampaikan pada Kamis (14/8/2025), bertepatan dengan penayangan perdana film tersebut di bioskop.
"Penayangan film Merah Putih: One For All telah resmi dibatalkan," tulis unggahan di akun @cinepolisid.
Film yang semula dijadwalkan tayang untuk menyambut Hari Kemerdekaan ini batal diputar, dan pihak bioskop menyampaikan terima kasih atas pengertian para penonton yang telah menunggu. Keputusan ini muncul di tengah gelombang kritik masif dari publik sejak trailer film tersebut dirilis.
Banyak penonton dan pengamat menilai kualitas animasi yang ditampilkan belum memenuhi standar untuk tayang di layar lebar. Selain isu kualitas, kontroversi lain yang turut memicu perdebatan adalah dugaan penggunaan aset animasi tanpa izin, meskipun klaim ini belum terbukti secara resmi.
Tidak hanya Cinepolis, jaringan bioskop CGV juga terlihat tidak menayangkan film tersebut. Dilihat dari situs CGV Cinemas, tidak ada jadwal tayang film Merah Putih: One for All pada hari ini.
Sementara itu, jaringan bioskop Cinema XXI menayangkan film tersebut. Untuk jadwal penayangan pada Jumat (15/8/2025), di Jakarta misalnya, film Merah Putih: One for All tayang di Kelapa Gading XXI, Kemang Village XXI, dan Puri XXI. Film tersebut juga tayang di Depok XXI, Metmall Cileungsi XXI, dan Alam Sutera XXI.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Naswardi, menyatakan film Merah Putih: One for All karya Perfiki Kreasindo telah lulus sensor dan mendapatkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) dengan klasifikasi usia Semua Umur (SU). Menurut dia, lolosnya film tersebut bukan tanpa alasan.
"Berdasarkan hasil penilaian dan juga penelitian yang dilakukan oleh kelompok penyensoran, maka film ini tidak ada kaidah kriteria yang dilanggar. Artinya semua kriteria yang kita punya di dalam proses penilaian itu terpenuhi," kata Nawardi pada Rabu (13/8/2025).
STLS untuk film ini diterbitkan pada 5 Juli 2025, yang memberinya hak untuk disiarkan di bioskop-bioskop Indonesia. Proses penilaian LSF didasarkan pada acuan utama kriteria sensor untuk animasi, yang mencakup tiga aspek yakni tema, konteks, nuansa, dan dampak.
Selain itu, ada juga acuan pendukung seperti judul film, dialog, dan visualisasi. Berdasarkan kriteria tersebut, LSF menilai enam unsur penting, termasuk praktik kekerasan, pornografi, peredaran narkotika, perendahan harkat kemanusiaan, SARA, dan isu melawan hukum.
Salah satu poin penting yang ditekankan Naswardi adalah batasan kewenangan LSF. Ia menjelaskan tugas LSF adalah memastikan sebuah film tidak melanggar kriteria sensor yang telah ditetapkan oleh undang-undang dan peraturan pemerintah, bukan menilai kualitas artistiknya.
"Jadi, kami di Lembaga Sensor Film tidak diberikan kewenangan, baik itu melalui peraturan menteri, peraturan pemerintah, ataupun undang-undang untuk menilai kualitas. Nah, itu rating penilaian rendah, tinggi, buruk, sedang, jelek, itu yang bisa memberikan adalah kritikus film, ataupun penonton dari film itu sendiri," ujarnya.
Penilaian semacam itu, menurutnya, seharusnya menjadi domain kritikus film atau penonton itu sendiri. Naswardi mengatakan LSF menerima semua film untuk disensor tanpa diskriminasi. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa masukan dari publik, kreator, dan industri terkait kualitas sinematografi tetap menjadi perhatian.
View this post on Instagram