Ahad 10 Aug 2025 17:27 WIB

Muslim Datangi Kafe Nonhalal: Cerminan Fenomena FOMO dan Kurangnya Kesadaran Halal

Dalam hukum Islam, kehalalan makanan tidak hanya ditentukan dari bahan baku.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Logo halal (ilustrasi). Generasi muda dinilai semakin abai terhadap prinsip-prinsip halal karena terdorong oleh tren gaya hidup dan tekanan sosial.
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Logo halal (ilustrasi). Generasi muda dinilai semakin abai terhadap prinsip-prinsip halal karena terdorong oleh tren gaya hidup dan tekanan sosial.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Popularitas GigiSusu Kafe di Canggu, Bali, menjadi magnet bagi anak muda. Namun, kehadiran sejumlah perempuan berhijab yang turut menjajal kafe tersebut dinilai menuai perhatian dan keprihatinan, mengingat GigiSusu belum bersertifikasi halal serta secara terbuka menjual menu daging babi dan minuman beralkohol.

Menanggapi hal ini, pegiat halal sekaligus founder Halal Corner, Aisha Maharani, menilai hal ini sebagai cerminan minimnya kesadaran halal dan tidak adanya kehati-hatian dalam memilih tempat makan di kalangan umat Islam, khususnya generasi muda. "Fenomena ini mencerminkan dua hal, minimnya kesadaran halal dan lemahnya filter dalam memilih tempat makan," kata Aisha saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (10/8/2025).

Baca Juga

Meskipun konsumen Muslim berargumen hanya memesan makanan berbahan ayam atau kopi, namun menurut Aisha tetap ada potensi kontaminasi. "Ketika sebuah kafe secara terbuka menjual babi dan alkohol, berarti dapur dan peralatannya digunakan untuk mengolah bahan-bahan haram. Risiko kontaminasi silang sangat tinggi, meskipun yang dipesan bukan makanan haram," ujar Aisha.

la menjelaskan dalam hukum Islam kehalalan makanan tidak hanya ditentukan dari bahan baku. Namun juga dari proses pengolahan secara menyeluruh, termasuk alat masak, minyak, hingga penyimpanan bahan makanan.

Menurut Aisha, banyak masyarakat yang belum memahami konsep kontaminasi silang (cross-contamination). la mencontohkan penggunaan alat dapur seperti wajan, talenan, pisau, atau spatula yang digunakan bergantian untuk bahan halal dan haram.

"Meski alat-alat tersebut dicuci, jika tidak melalui prosedur sertu yaitu dicuci tujuh kali dengan salah satunya menggunakan tanah, maka najisnya belum hilang menurut syariat," ujar Aisha.

Aisha mengungkapkan, restoran nonhalal juga berpotensi menggunakan minyak bekas menggoreng babi untuk memasak bahan lain seperti ayam atau sayur. Penyimpanan bahan makanan yang dicampur juga membuka kemungkinan terjadinya pencampuran cairan dari bahan haram.

"Secara fikih, makanan yang terkontaminasi bahan haram tetap tidak dapat dikonsumsi, meskipun konsumen tidak memesan langsung menu yang mengandung babi atau alkohol," kata dia.

Lebih jauh, Aisha menyoroti kecenderungan generasi muda yang dinilai semakin abai terhadap prinsip-prinsip halal karena terdorong oleh tren gaya hidup dan tekanan sosial. "Banyak yang terdorong FOMO (Fear of Missing Out), ingin tetap dianggap gaul, hingga akhirnya mengabaikan prinsip halal. Sebagian juga merasa malu menunjukkan identitasnya sebagai muslim secara utuh, termasuk dalam hal memilih tempat makan," kata dia.

Aisha pun menekankan penggunaan hijab seharusnya menjadi bagian dari komitmen ketaatan yang menyeluruh, termasuk dalam aspek konsumsi makanan dan minuman. "Hijab adalah simbol ketaatan. Tapi ketaatan itu tidak hanya soal busana, melainkan juga menyangkut gaya hidup dan kehati-hatian dalam setiap pilihan konsumsi," kata Aisha.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement