REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus sindikat perdagangan bayi masih menjadi masalah serius di Indonesia. Beberapa waktu lalu, sedikitnya 24 bayi dari Indonesia diduga dijual ke Singapura dengan modus adopsi berbayar.
Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak (PKGA) IPB University, Dr Yulina Eva Riany, memperingatkan bahwa praktik ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga meninggalkan dampak psikologis dan sosial jangka panjang bagi korban, baik anak maupun orang tua. Menurut Yulina, anak-anak korban penjualan bayi berisiko mengalami krisis identitas akibat kehilangan informasi mengenai keluarga biologis. Hal ini dapat menyulitkan mereka dalam memahami asal-usul dan membentuk identitas diri, terutama saat memasuki masa remaja hingga dewasa awal.
"Dalam teori perkembangan sosial Erikson, masa remaja adalah fase krusial pembentukan identitas. Ketika tidak tahu siapa dirinya dan dari mana berasal, remaja akan mengalami kebingungan mendalam yang berdampak jangka panjang," kata dia dalam keterangan tertulis, dikutip pada Ahad (10/8/2025).
Yulina mengatakan ketidakjelasan asal-usul juga dapat memicu perasaan hampa, rendahnya rasa memiliki, dan kesulitan menjalin relasi intim. Dalam konteks budaya Indonesia yang sangat menekankan garis keturunan, anak-anak tersebut bisa mengalami stigma dan diskriminasi, terutama dalam proses pernikahan atau pencatatan hukum.
Dr Yulina juga menyoroti potensi trauma yang dialami orang tua korban. "Kehilangan anak secara paksa dapat memicu rasa bersalah, stres berat, hingga gangguan kejiwaan seperti depresi dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)," kata dia.
la menyebut kondisi ekonomi yang buruk sering kali menjadi faktor utama orang tua terjerumus dalam jaringan sindikat tersebut. Mengutip Attachment Theory oleh Bowlby dan Ainsworth, Dr Yulina menyebut pemisahan bayi dari orang tua biologis dapat mengganggu pembentukan ikatan emosional aman (secure attachment). Akibatnya, anak-anak ini lebih rentan mengalami gangguan emosional dan trauma perkembangan.
"Anak yang berpindah tangan beberapa kali berisiko mengalami eksploitasi, kekerasan, hingga menjadi korban perdagangan manusia lainnya," kata dia.
Untuk mengatasi masalah ini, Dr Yulina menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor, termasuk aparat hukum, lembaga sosial, kesehatan, serta Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). la juga mendorong pemanfaatan teknologi digital, seperti sistem registrasi kelahiran terpadu dan verifikasi biometrik, untuk mencegah pemalsuan identitas bayi.
Selain itu, ia menyarankan kerja sama dengan organisasi internasional seperti UNICE dan Organisasi Polisi Kriminal Internasional (Interpol) untuk melacak sindika lintas negara. Penegakan hukum pun harus berbasis child-sensitive justice, serta didukung layanan rehabilitasi psikososial berbasis trauma.
Dr Yulina juga menggarisbawahi pentingnya peran masyarakat dalam mencegah perdagangan bayi melalui konsep community-based child protection (CBCP). Masyarakat, menurutnya, harus dilibatkan dalam deteksi dini praktik mencurigakan, edukasi hukum, dan membangun jaringan perlindungan anak berbasis lokal.
"Tokoh agama, kader posyandu, hingga Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) bisa menjadi garda terdepan. Mereka dapat membantu mendeteksi indikasi adopsi ilegal dan aktivitas klinik persalinan yang tidak resmi," kata dia.