REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gangguan bipolar merupakan salah satu gangguan jiwa berat dengan dampak signifikan terhadap kehidupan penderitanya. Data Bipolar Care Indonesia mencatat, sekitar 2 persen penduduk Indonesia (72.860 jiwa) mengidap gangguan bipolar.
Sayangnya upaya penanganan gangguan ini masih banyak menghadapi tantangan, salah satunya karena stigma yang kuat di masyarakat. Menurut dokter spesialis kedokteran jiwa, dr Ashwin Kandouw, stigma terhadap gangguan jiwa kerap menjadi penghalang bagi penderita untuk segera mendapatkan pertolongan medis dan terapi yang tepat.
"Stigma gangguan jiwa masih kuat di mata masyarakat, ini jadi kendala yang menyulitkan penderita mendapat pelayanan medis yang tepat sesuai kondisinya. Pasien kerap dibawa ke pengobatan alternatif atau bahkan membiarkannya tanpa terapi," kata dr Ashwin dalam keterangan tertulis, dikutip pada Senin (28/7/2025).
Ia mengungkapkan, gangguan bipolar membutuhkan penanganan yang bersifat komprehensif dan berkelanjutan. Mulai dari pengobatan untuk menstabilkan kimia otak, dukungan keluarga, hingga keterlibatan pemerintah dalam penyediaan layanan dan pembiayaan jangka panjang.
"Semakin cepat pasien mendapatkan penanganan, semakin besar pula peluang untuk pemulihan. Sebaliknya, keterlambatan pengobatan dapat menyebabkan kekambuhan yang berulang dan kerusakan sel otak yang bersifat permanen," kata dia.
Dokter Ashwin mengatakan, gangguan bipolar merupakan gangguan mood yang ditandai dengan perubahan suasana hati secara ekstrem, dari fase manik (euforia berlebihan) ke fase depresi berat. Gejala fase manik antara lain meningkatnya rasa percaya diri, ide yang berkejaran, dorongan bicara dan belanja berlebihan, serta perilaku impulsif.
Sedangkan pada fase depresi, gejalanya berupa rasa sedih yang berlebihan dan sulit dikendalikan, kehilangan kesenangan dari hobi yang biasanya menyenangkan, terjadinya penurunan tenaga dan konsentrasi, perubahan nafsu makan, gangguan tidur, menurunnya keinginan sosialisasi dan kepercayaan diri, kesulitan mengambil keputusan, kecenderungan melukai diri sendiri bahkan ingin mengakhiri hidup. Menurutnya, bipolar bersifat kambuhan dan kronis, yang berarti gejalanya bisa kembali muncul jika tidak ditangani dengan komprehensif. Setiap kekambuhan, dapat menyebabkan kerusakan sel otak yang tidak bisa diperbaiki.
"Dan semakin sering kambuh, semakin banyak sel otak yang mengalami kerusakan. Perlu diketahui bahwa sel otak yang sudah rusak cenderung tidak bisa pulih lagi," kata dr Ashwin.
Oleh karena itu, dia mengimbau masyarakat untuk tidak menunda konsultasi dan terapi jika menyadari adanya gangguan bipolar, baik pada diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan sekitar. Konsultasi dan terapi sebaiknya segera dilakukan pada spesialis kedokteran jiwa (psikiatri).