REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makan bukan lagi sekadar urusan lapar dan kenyang. Sering kali, kita meraih makanan sebagai respons terhadap perasaan, sebuah fenomena yang dikenal sebagai emotional eating atau makan emosional.
Sebuah survei dari YouGov untuk British Nutrition Foundation (BNF) mengungkapkan bahwa kebosanan, stres, kecemasan, dan kelelahan adalah beberapa alasan utama mengapa pola makan kita menjadi kurang sehat dari biasanya. Namun, mengapa perasaan begitu kuat memengaruhi pilihan makanan kita, dan adakah cara yang lebih baik untuk mengatasinya?
Akar penyebab emotional eating
Secara mendasar, emotional eating bisa dipicu oleh naluri bertahan hidup. "Tubuh kita tidak mengenali perbedaan antara stres karena dikejar singa dan stres karena tenggat waktu pekerjaan," kata dokter Aishah Muhammad dikutip dari laman bbc.co.uk pada Selasa (1/7/2025).
Ketika tubuh merasakan stres, ia bersiap untuk mode "lawan atau lari". Ahli diet Sophie Medlin menjelaskan saat stres, Anda menginginkan makanan yang mudah dicerna dan melepaskan energi dengan cepat untuk membantu Anda melawan atau melarikan diri yakni gula dan karbohidrat.
Penelitian mengaitkan kebosanan dengan makan sebagai bentuk pelarian. Menariknya, penelitian yang sama juga menemukan bahwa kebosanan dapat mendorong konsumsi makanan sehat, asalkan makanan tersebut dianggap "menarik". Kurang tidur juga memiliki dampak signifikan.
Penelitian menunjukkan bahwa saat kurang tidur, kita bisa mengonsumsi hampir 400 kalori lebih banyak per hari. Hal ini terjadi karena kita mengandalkan sumber energi cepat untuk membuat kita tetap terjaga, biasanya karbohidrat; dan kurang tidur juga meningkatkan hormon lapar.
Penyebab lainnya terletak pada kimia otak. Saat makan, otak kita melepaskan dopamin, zat kimia yang bertanggung jawab atas perasaan senang dan puas. Makanan tertentu, terutama yang tinggi lemak dan gula, merangsang produksi dopamin lebih kuat daripada pilihan yang lebih sehat.
Hal ini dapat menciptakan apa yang disebut oleh psikolog dan penulis The Pleasure Trap, dr Douglas Lisle, sebagai perangkap kenikmatan diet. Naluri Anda memberitahu untuk mencari kesenangan terbesar dengan rasa sakit dan usaha yang paling sedikit. Namun, semakin sering reseptor kesenangan di otak Anda dipicu, dampaknya akan semakin berkurang, mendorong Anda untuk mengonsumsi lebih banyak lagi. Penelitian baru pada model tikus bahkan menunjukkan adanya jalur biologis spesifik di otak—menghubungkan korteks insular ke nukleus paraventrikular talamus (PVT)—yang mendorong makan akibat stres lebih kuat pada perempuan, menegaskan bahwa ada faktor biologis yang terlibat di luar tekanan sosial semata.
Teknik 3F dan pilihan makanan cerdas
Untuk mengatasi emotional eating, penulis Feel Great Lose Weight, dr Rangan Chatterjee, memperkenalkan teknik 3F yang sederhana namun efektif:
-Feel (Rasakan): Ketika dorongan makan muncul, berhenti sejenak. Tanyakan pada diri sendiri: apakah saya benar-benar lapar, atau saya merasa bosan, kesepian, atau stres? Jika Anda lapar secara fisik, maka makanlah.
-Feed (Beri makan): Pertimbangkan bagaimana makanan yang Anda pilih akan "memberi makan" perasaan yang Anda identifikasi pada langkah pertama. Bagaimana perasaan Anda setelah memakannya—lebih baik, lebih buruk, atau tidak ada perubahan? Ini membantu membangun kesadaran akan dampak makanan terhadap emosi Anda.
-Find (Temukan): Bisakah Anda menemukan perilaku non-makanan untuk mengatasi emosi tersebut? Ini bisa berupa olahraga, latihan yoga, mandi air hangat, tidur sejenak, menelepon teman, atau menggunakan teknik pernapasan untuk mengurangi kecemasan dan stres.
Selain mengubah respons terhadap dorongan makan, memilih makanan yang tepat juga sangat penting. Psikolog dr Susan Albers menyarankan untuk tidak hanya fokus mengurangi makanan tidak sehat, tetapi juga berpikir tentang penambahan, mencoba menambahkan satu makanan sehat sehari. Beberapa makanan yang terbukti dapat meningkatkan suasana hati antara lain:
-Makanan kaya Vitamin D: Daging merah, jamur, kuning telur, tuna, dan sarden. Kekurangan vitamin D sering dikaitkan dengan kecemasan dan depresi.
-Makanan kaya Vitamin C: Jeruk, mangga, brokoli, dan stroberi dapat membantu melawan kecemasan.
-Makanan tinggi protein: Daging, ayam, telur, dan buncis terkait dengan kadar dopamin dan norepinefrin yang lebih tinggi, zat kimia otak yang penting untuk suasana hati dan motivasi.
-Ubi jalar: Mengandung serat yang memperlambat pelepasan gula darah dan kaya magnesium yang membantu menurunkan tingkat kecemasan.
-Kenari dan kakao: Kenari terbukti mengurangi nafsu makan dan keinginan terhadap makanan manis, sementara kakao mengandung polifenol, antioksidan kuat yang memiliki efek antiinflamasi dan dapat meningkatkan konsentrasi.