REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menyampaikan keprihatinan atas tingginya angka kekerasan yang masih terjadi di masyarakat Indonesia. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja 2024 menunjukkan satu di antara dua anak Indonesia pernah mengalami kekerasan.
Data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) mencatat 11.850 kasus kekerasan, dengan jumlah korban mencapai lebih dari 12 ribu orang selama periode Januari 2025 hingga 12 Juni 2025. Berdasarkan jumlah tersebut, perempuan merupakan korban terbanyak dengan lebih dari 10 ribuan kasus, sedangkan korban laki-laki mencapai lebih dari 2.000-an kasus.
"Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual, dan lokasi terbanyak adalah dalam ranah rumah tangga yang seharusnya menjadi tempat paling aman," kata dia pada Selasa (17/6/2025).
Menteri Arifah juga menyoroti dampak penggunaan teknologi pada anak-anak. Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, tercatat 39,71 persen anak usia dini sudah menggunakan telepon seluler dan 35,57 persen telah mengakses internet.
"Dari hasil analisis kami, penyebab utama kekerasan terhadap anak berasal dari tiga faktor, pola asuh yang tidak tepat, penggunaan gadget yang tidak bijaksana, serta pengaruh lingkungan. Ini menunjukkan bahwa keluarga memainkan peran yang sangat penting dalam perlindungan anak," kata dia.
Menurut dia, keluarga sebagai sekolah pertama dan utama bagi anak dalam menanamkan nilai-nilai akhlak, moral, cinta, dan kedamaian.
Maka dari itu, ia berharap, kegiatan-kegiatan yang digelar dalam rangka Hari Keluarga Nasional dapat menjadi kesempatan penguatan kolaborasi seluruh elemen masyarakat. Ia mengatakan keluarga di Indonesia harus menjadi tempat terbaik bagi anak untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi.
"Dengan keluarga yang berdaya, kita bisa membangun masyarakat yang sejahtera dan tangguh, demi mewujudkan Indonesia maju dan berkeadilan," ujarnya.
Ia menegaskan penyelesaian persoalan kekerasan tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah namun diperlukan kolaborasi lintas sektor yang melibatkan masyarakat, organisasi non-pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan media.
"Persoalan ini adalah kerja bersama. Hanya dengan sinergi, kita bisa menciptakan perubahan nyata," kata dia.
Dia menyebut pentingnya membangun keluarga yang tangguh sebagai kunci utama dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan dan anak. "Keluarga merupakan tempat utama, sekolah utama untuk anak-anak kita untuk menanamkan nilai-nilai akhlak, nilai-nilai luhur rasa cinta, dan rasa damai untuk anak-anak kita," ujarnya.