REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam lanskap kesehatan perempuan yang kompleks, muncul pertanyaan penting: apakah kemarahan yang dipendam dapat memicu penyakit autoimun? Penelitian menunjukkan, perempuan lebih rentan terhadap penyakit autoimun dengan hampir 80 persen kasus terjadi pada mereka, dan juga memiliki tingkat kecemasan, PTSD, dan anoreksia yang lebih tinggi.
Fenomena ini memicu perdebatan mengenai faktor biologis versus perilaku dalam kesehatan perempuan. Dilansir laman Independent pada Kamis (10/4/2025), seorang individu yang hidup dengan autoimun dan kecemasan, bertanya-tanya apakah kemarahan yang tidak tersalurkan dapat memperburuk kondisi kesehatan perempuan.
Pengalaman pribadi banyak perempuan, termasuk kesulitan mengekspresikan kemarahan, menunjukkan bahwa norma sosial sering kali menekan emosi perempuan. Psikolog Dana Jack pada akhir 1980-an mengamati pola "membungkam diri sendiri" pada pasien perempuan, yang dikaitkan dengan peningkatan risiko depresi.
Penelitian dari University of Pittsburgh juga menemukan bahwa perempuan kulit berwarna yang menahan amarah memiliki risiko lebih tinggi terkena aterosklerosis. Sarah, seorang perempuan dengan anemia pernisiosa dan fibromyalgia, menggambarkan bagaimana kemarahan yang tidak tersalurkan termanifestasi sebagai rasa sakit fisik. Ia menemukan bahwa teknik somatik seperti tarian ekstatis, pijat, dan pernapasan diafragma membantu melepaskan emosi yang terperangkap dalam tubuhnya.
Dilly, yang didiagnosis dengan tiroiditis Hashimoto, mengalami gejala yang memburuk setelah periode stres yang intens. Ia merasa menekan perasaannya berdampak negatif pada kesehatannya.
Ahli endokrinologi naturopati, dr Jolene Brighten, mengatakan bahwa menekan emosi, terutama kemarahan, dapat meningkatkan stres, mengganggu fungsi kekebalan tubuh, dan menyebabkan peradangan kronis, yang dapat memperburuk penyakit autoimun. Ia merujuk pada penelitian yang menunjukkan bahwa penekanan emosi dapat memicu aktivasi sumbu HPA jangka panjang, mengganggu sistem kekebalan tubuh.
Psikolog kesehatan dr Sula Windgassen menekankan bahwa kesehatan adalah hasil dari interaksi faktor biologis, psikologis, sosial, dan lingkungan. Meskipun penelitian tentang kemarahan yang dipendam dan dampaknya terhadap imunitas masih berkembang, psikoneuroimunologi memberikan bukti bahwa penekanan emosi dapat memengaruhi fungsi imun.
Setiap emosi melibatkan respons biologis, tetapi respons terhadap penekanan emosi dapat membebani tubuh dengan meningkatkan produksi kortisol, yang mengganggu sistem kekebalan tubuh. Untuk mengatasi dampak negatif emosi yang dipendam, dr Brighten menyarankan untuk membangun kesadaran emosional, menyalurkan perasaan melalui jurnal, terapi, atau teknik somatik, dan melakukan aktivitas fisik, perhatian penuh, dan latihan pernapasan.
Ia juga menekankan pentingnya menetapkan batasan yang sehat, berkomunikasi dengan tegas, dan menjaga hubungan yang mendukung. Pengalaman Sarah dan Dilly, serta pendapat para ahli, menunjukkan bahwa mengelola emosi dengan baik, terutama kemarahan, melalui terapi, aktivitas fisik, atau latihan kesadaran, adalah kunci untuk menjaga kesehatan mental dan fisik perempuan.