Selasa 01 Apr 2025 13:44 WIB

Pola Pikir Beracun Ini Dapat Merusak Kesehatan Mental, Apa Itu?

Pola pikir ini tanpa disadari bisa menjebak seseorang dalam standar mustahil.

Kesehatan mental (ilustrasi). Pola pikir semua atau tidak sama sekali tanpa disadari dapat menjebak seseorang dalam standar yang mustahil dan perasaan bersalah.
Foto: Pixabay
Kesehatan mental (ilustrasi). Pola pikir semua atau tidak sama sekali tanpa disadari dapat menjebak seseorang dalam standar yang mustahil dan perasaan bersalah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mentalitas "semua atau tidak sama sekali" ternyata bisa merusak kesehatan mental dan menghambat pencapaian seseorang. Menurut para ahli, pola pikir ini sering kali tanpa disadari menjebak kita dalam standar yang mustahil.

Ungkapan-ungkapan seperti "lakukan yang besar atau tidak sama sekali", "segala sesuatu yang layak dilakukan, layak dilakukan dengan benar”, bahkan "lakukan atau jangan lakukan”. Tidak ada kata mencoba yang seharusnya menginspirasi, justru sering kali memberikan efek sebaliknya.

Baca Juga

Konselor kesehatan mental berlisensi sekaligus founder Therapy for Cycle Breakers, Jennifer Vincent, mengatakan otak kita secara alami berusaha menemukan pola karena sistem saraf dan sebagian otak kita mendambakan kepastian. “Dalam cara yang aneh, otak kita menginginkan itu karena terasa paling aman dengan prediksi, bahkan ketika itu salah. Otak kita membenci abu-abu; terlalu berantakan,” kata dia dikutip dari laman Huffington Post pada Jumat (28/3/2024).

Direktur Program dan Profesor Madya Konseling Kesehatan Mental Klinis di Lebanon Valley College, Cynthia Vejar, mengatakan pola pikir tersebut sering kali berakar dari masa kanak-kanak, di mana kita dikondisikan sejak usia muda untuk melihat kehidupan dalam istilah hitam-putih. “Kemenangan atau kekalahan dalam permainan, mendapatkan tawaran pekerjaan atau tidak, sulit untuk tidak jatuh ke dalam cara berpikir biner ini,” kata dia.

Dia melanjutkan, “Bayangkan seorang anak berusia 10 tahun yang tim sepak bolanya kalah dalam pertandingan. Pelatih mungkin mendorong tim untuk menghargai kerja keras dan usaha mereka, tetapi anak itu mungkin masih melihat ini sebagai situasi menang-kalah, dan itu bisa terasa seperti kekecewaan yang menghancurkan," kata Vejar.

Menurut dia, ketika mentalitas seperti ini diterapkan pada bidang kehidupan lain, kita mungkin melupakan nilai dari jalan tengah. Dalam kasus pertandingan sepak bola tadi, ada area abu-abu, tidak persis menang, tidak persis kalah, tapi bisa menjadi indah. "Area abu-abu inilah tempat kita belajar, tumbuh, beradaptasi, memperbaiki diri, memahami diri kita dan orang lain, dan mengidentifikasi tujuan," kata Vejar.

Bahkan, kata dia, jika area abu-abu itu normal, sulit untuk melepaskan pola pikir semua atau tidak sama sekali yang memberi tahu kita bahwa segala sesuatu harus benar-benar sempurna atau tidak memiliki nilai. Perasaan ini umum, tetapi menyerah pada mentalitas “semua atau tidak sama sekali” dapat menghambat produktivitas dan merusak kepercayaan diri.

Mentalitas ‘semua atau tidak sama sekali’ dinilai bukan hal yang sehat. Seorang psikolog klinis berlisensi dan profesor peneliti asosiasi di Northwestern University, Ida Sulusky, mengatakan pemikiran itu adalah jenis distorsi kognitif atau keyakinan palsu yang dapat memengaruhi fungsi dan hubungan seseorang.

“Jika tidak ada ruang untuk sesuatu yang kurang dari kesempurnaan, pemikiran ‘semua atau tidak sama sekali’ dapat melumpuhkan," kata Sulusky.

Vincent mengatakan tekanan konstan untuk tampil sempurna dapat menciptakan rasa tidak pernah cukup baik yang luar biasa, yang merupakan kontributor utama kecemasan dan depresi. "Ada ketakutan membuat kesalahan atau tidak memenuhi harapan, yang kemudian mengarah pada rasa malu, pembicaraan negatif tentang diri sendiri, dan perasaan tidak mampu," kata dia.

Cara lain pemikiran “semua atau tidak sama sekali” dapat memengaruhi kesehatan mental adalah dengan membandingkan kegagalan nyata atau yang dirasakan dengan orang lain, terutama di media sosial. "Jika saya tidak bisa terlihat seperti mereka atau berolahraga seperti mereka, maka saya tidak akan mencobanya," ujar Vincent mencontohkan. Menurut dia, perbandingan ini mencuri kegembiraan dan kemampuan kita untuk memiliki belas kasihan pada diri sendiri.

Sulusky menyarankan untuk fokus pada masa kini dan tidak merenungkan masa lalu atau memikirkan apa yang bisa Anda lakukan secara berbeda. "Ketika Anda melewatkan satu hari di gym, tanyakan pada diri sendiri, 'Apa upaya 1 persen yang bisa saya lakukan untuk tujuan saya menjaga kesehatan saya hari ini?',” katanya.

Jika tujuan Anda besar, pecahkan menjadi kenaikan yang lebih kecil. Anda disarankan untuk menetapkan harapan yang realistis untuk diri sendiri, yang dimulai dengan pemahaman jujur tentang di mana Anda memulai dan di mana Anda ingin berakhir. "Ini berarti menetapkan tujuan yang mencerminkan pertumbuhan yang dapat dicapai selama periode waktu yang wajar," kata Vejar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement