REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring dengan meningkatnya penggunaan ponsel pintar di Indonesia, ancaman penipuan seluler menjadi perhatian serius. Menurut laporan terbaru, Indonesia diproyeksikan menjadi pasar terbesar kedua untuk ponsel pintar di Asia Pasifik dengan lebih dari 381 juta pengguna pada tahun 2030. Namun, pertumbuhan ini juga diiringi dengan risiko besar, di mana Seperti dikutip dari Antara, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat lebih dari 400 juta serangan siber pada tahun 2023. Hal ini memunculkan tuntutan yang lebih tinggi terhadap para pengembang untuk memastikan keamanan aplikasi seluler.
Jan Sysmans, Mobile App Security Evangelist di Appdome, menekankan bahwa pengembang memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan keamanan bagi jutaan pengguna seluler di Indonesia.
“Pengguna Indonesia kini lebih mengutamakan perlindungan pencegahan daripada penggantian kerugian setelah serangan terjadi. Pengembang harus mampu menciptakan solusi keamanan yang proaktif, mudah digunakan, dan tidak mengganggu pengalaman pengguna,” ujar Jan, dikutip pada Jumat (13/12/2024).
Penipuan seluler di Indonesia melibatkan berbagai taktik, termasuk phishing, smishing, dan penggunaan malware overlay. Taktik-taktik ini memanfaatkan celah keamanan aplikasi untuk mencuri data pengguna atau mengambil alih akun. Laporan menunjukkan bahwa 64% serangan phishing di Indonesia menargetkan platform media sosial, yang juga menjadi pintu masuk bagi pelaku ancaman untuk menyebarkan spyware dan malware.
Dengan kemajuan kecerdasan buatan (AI), serangan menjadi semakin canggih. Penjahat siber kini menggunakan aplikasi palsu yang sangat mirip dengan aslinya untuk mengecoh pengguna. Sebanyak 36% responden dalam studi FICO khawatir identitas mereka dapat disalahgunakan untuk membuka akun keuangan oleh pelaku kejahatan.
Sysmans menyebutkan bahwa pendekatan tradisional seperti "crash to protect" tidak lagi relevan dalam menghadapi ancaman modern. Sebaliknya, pengembang perlu memanfaatkan teknologi berbasis AI untuk mencegah serangan secara real-time tanpa mengorbankan kenyamanan pengguna. “Solusi modern harus dapat mendeteksi dan merespons ancaman secara langsung, misalnya dengan mengurangi fungsi aplikasi ketika risiko terdeteksi daripada menutup aplikasi sepenuhnya,” kata Jan.
Lebih lanjut, Sysmans menyoroti pentingnya edukasi bagi pengguna. “Penting untuk memberikan informasi yang jelas dan mudah dipahami tentang ancaman yang mungkin mereka hadapi. Pengembang bisa membantu pengguna mengenali tanda-tanda aplikasi palsu atau email phishing,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia juga mengambil langkah serius dalam meningkatkan ketahanan digital negara, termasuk melalui Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan pengenalan Gerakan Literasi Digital Nasional. Namun, Jan menekankan bahwa inisiatif pemerintah perlu didukung oleh tindakan konkret dari para pengembang untuk memperkuat pertahanan aplikasi seluler.
“Keamanan digital bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh ekosistem teknologi, termasuk pengembang. Dengan mengutamakan keamanan sejak awal, pengembang dapat menciptakan lingkungan digital yang lebih aman bagi semua pengguna,” kata Jan.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia, pengembang memegang kunci penting dalam menciptakan solusi yang aman dan andal. Dengan memanfaatkan teknologi modern dan fokus pada pengalaman pengguna, mereka dapat melindungi jutaan pengguna seluler dari ancaman siber yang semakin kompleks, sekaligus memperkuat kepercayaan di lanskap digital Indonesia.