REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Edukasi kesehatan reproduksi, khususnya edukasi seksual, dinilai menjadi salah satu kunci penting upaya pencegahan HIV/AIDS dan mencapai target Three Zero. Dengan memberikan informasi yang akurat dan komprehensif tentang seksualitas, HIV/AIDS, dan cara pencegahannya, diyakini dapat memberdayakan anak muda untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab dan melindungi diri mereka sendiri serta orang lain.
Kementerian Kesehatan mengatakan edukasi kesehatan reproduksi bagi anak muda untuk mencapai target Three Zero HIV/AIDS, yakni meniadakan infeksi baru, diskriminasi, dan kematian akibat AIDS, serta meminimalisasi penularan HIV dan sifilis dari ibu ke anak. "Prevalensi HIV pada remaja dan dewasa muda, yaitu usia 15-24 tahun pada 2023, meningkat di beberapa negara dibandingkan tahun 2019. Prevalensi HIV pada populasi lelaki seks dengan lelaki, atau LSL, remaja dan dewasa muda, di beberapa negara di Asia, termasuk Indonesia, menunjukkan peningkatan lebih tinggi dari rata-rata global," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Ina Agustina Isturini dalam siaran di Jakarta, Kamis (28/11/2024).
Data SIHA sampai September 2024, kata Ina, menunjukkan 71 persen orang dengan HIV (ODHIV) mengetahui status, namun baru 64 persen ODHIV ikut terapi antiretroviral (ARV), dan baru 48 persen ODHIV yang ikut terapi tersebut dites viral loadnya dan virusnya tersupresi. "Untuk mencapai ketiga zero tersebut, telah ditetapkan target 95 persen ODHIV terdiagnosa, 95 persen ODHIV minum obat ARV seumur hidup, dan 95 persen ODIF mengalami supresi virus HIV sebagai bukti keberhasilan pengobatan ARV, pada tahun 2030," kata dia.
Oleh karena itu, Ina pun menilai perlunya meningkatkan pendidikan kesehatan reproduksi di kalangan remaja dan muda, guna pencegahan, serta penanggulangan. Dia menyebut pentingnya komitmen dan kolaborasi bersama dalam langkah-langkah tersebut.
HIV Senior Advisor dari Monitoring dan Evaluation USAID Bantu II Aang Sutrisna menyebutkan, saat ini sedang proses Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2024, namun dari proses pengumpulan data, terlihat bahwa trennya tidak jauh berbeda dari yang ditunjukkan di versi 2017. Dalam SDKI 2017, katanya, dipaparkan tentang pengetahuan publik tentang HIV/AIDS serta dua perilaku yang menjadi faktor risiko, yakni hubungan seks serta penggunaan narkoba, psikotropika dan zat adiktif (napza).
Pengetahuan komprehensif tentang HIV, katanya, meningkat dari 2007-2017, namun lebih tinggi pada kelompok usia 20-24 dan pada perempuan. Dia menambahkan, proyeksi SDKI 2024 menunjukkan bahwa pengetahuan masih jauh dari target, dengan angka tetap rendah di kedua kelompok usia.
Dia mengatakan, diperkirakan pada 2024, ada 40 juta orang berusia 15-24 tahun. Data SDKI 2017, menunjukkan bahwa persentase hubungan seks pada penduduk umum berumur 15-20 selain populasi kunci (lelaki seks dengan sesama lelaki, transpuan, wanita pekerja seksual, pelanggan seks, pengguna narkoba jarum suntik) cenderung di bawah lima persen.
"Tetapi karena populasinya tadi besar, 40 juta, jumlahnya juga jadi besar jadi kalau pun 5 persen saja, 40 juta itu atau setengahnya, let's say 20 jutaan, itu sudah cukup besar. Kalau 5 persen bisa sampai 100 ribu anak usia 15 ataupun penduduk usia 15-19 tahun itu pernah melakukan hubungan seks," kata dia.
Data yang sama, katanya, menunjukkan bahwa pada 2007-2017, terdapat 0,3-0,1 persen laki-laki dari kelompok umur 15-24 tahun menggunakan NAPZA jenis suntik. Meski angkanya bisa dibilang kecil, katanya, namun dengan penduduk yang 40 juta, jumlahnya tetap banyak.