Senin 07 Oct 2024 08:24 WIB

Konsumsi Susu Ikan Dinilai Berisiko Timbulkan Alergi

Profil nutrisi antara susu ikan analog dengan susu sapi memiliki perbedaan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Susu ikan (ilustrasi). Susu ikan analog dinilai memiliki risiko alergi.
Foto: Pixabay
Susu ikan (ilustrasi). Susu ikan analog dinilai memiliki risiko alergi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar gizi sekaligus Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga, Prof Annis Catur Adi, mengungkapkan susu ikan analog memiliki risiko alergi. Utamanya, jika susu tersebut dikonsumsi oleh anak-anak atau individu dengan sensitivitas tinggi terhadap histamin.

“Produk dari ikan laut, termasuk susu ikan analog, memiliki risiko menimbulkan alergi, terutama bagi anak-anak atau individu dengan sensitivitas tinggi terhadap histamin. Oleh karena itu, konsumsi ikan analog harus dilakukan dengan hati-hati, apalagi pada kelompok rentan,” kata Prof Annis dalam keterangan tertulis, dikutip pada Senin (7/10/2024).

Baca Juga

Ia menjelaskan profil nutrisi antara susu ikan analog dengan susu sapi memiliki perbedaan. Susu sapi, kaya akan kalsium, vitamin D, protein, dan karbohidrat, terutama laktosa yang merupakan komponen penting bagi kesehatan tulang.

Sementara itu, susu ikan analog lebih fokus pada asupan protein dan omega-3, yang baik untuk otak dan kesehatan jantung. “Produk ini sebaiknya dianggap sebagai pelengkap saja, bukan pengganti susu sapi,” kata dia.

Prof Annis mengkritisi istilah susu ikan yang menurutnya tidak tepat. Ia mengatakan, ikan tidak memiliki kelenjar mamae yang menghasilkan susu seperti mamalia pada umumnya.

“Susu bisa kita definisikan sebagai cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar susu mamalia, seperti sapi, kuda dan domba. Jadi, produk dari ikan tersebut lebih tepat kita sebut susu analog atau minuman berprotein dari ikan,” ujarnya.

Menurut dia, penggunaan istilah yang tidak tepat dapat membingungkan masyarakat, apalagi jika pemberitaannya berasal dari pihak-pihak yang bukan ahlinya. “Sebagai cendekia, kita harus berupaya memberikan informasi yang akurat dan jujur, apalagi terjadi dengan kesehatan. Terlebih, kita harus mencegah pihak-pihak tertentu mempolitisasi istilah-istilah ini, terutama di tahun-tahun politik,” kata Prof Annis.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement