Senin 19 Aug 2024 10:53 WIB

Antipasi Virus Mpox di Indonesia, Ini yang Dilakukan Kemenkes

Kemenkes optimistis upaya mitigasi persebaran virus Mpox bisa lebih maksimal.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Penularan monkey pox atau cacar monyet (ilustrasi). Kemenkes meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi penyebaran virus monkeypox (Mpox) di Indonesia.
Foto: Republika
Penularan monkey pox atau cacar monyet (ilustrasi). Kemenkes meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi penyebaran virus monkeypox (Mpox) di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes) meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi penyebaran virus monkeypox (Mpox) di Indonesia. Salah satu langkah konkret yang dilakukan adalah mempersiapkan sebanyak 12 laboratorium yang tersebar di berbagai wilayah untuk mempercepat proses pemeriksaan terhadap individu yang diduga terpapar virus tersebut.

Pelaksana Tugas Dirjen P2P Kemenkes Yudhi Pramono dalam konferensi pers yang digelar secara daring pada Ahad (18/8/2024) mengatakan belasan laboratorium tersebut tersebar di sejumlah kota besar yang terbagi dalam beberapa regional. Laboratorium wilayah regional I berada di Balai Laboratorium Kesehatan Masyarakat Kota Medan Sumatra Utara, wilayah regional II di Kota Batam Kepulauan Riau.

Baca Juga

Regional IV berada di Jakarta dan Pangandaran, Jawa Barat, regional V berada di Yogyakarta dan Magelang Jawa Tengah, regional VI berada di Kota Surabaya Jawa Timur, regional VII di Pulau Kalimantan yakni Kota Banjarbaru Kalimantan Timur. Kemudian, regional VIII Balai Besar Laboratorium Kesehatan Masyarakat di Makassar dan regional XI di Papua.

Sebagian besar regional tersebut telah dilengkapi atau disediakan alat reagen untuk pemeriksaan Mpox. Sementara menurut Yudhi, untuk regional III (Sumatera Selatan), regional IX (Maluku), dan regional X (Maluku Utara) masih dalam proses penyediaan. Kemenkes optimistis upaya mitigasi persebaran virus Mpox di Indonesia bisa lebih maksimal melalui penyiapan laboratorium kesehatan tersebut karena hasil dapat diketahui detil, dan mempengaruhi upaya treatment. Di sisi lain, Yudhi mengatakan kesadaran masyarakat yang cepat memeriksa diri jika sakit yang mirip dengan gejala Mpox ke fasilitas kesehatan juga menjadi hal pendukung. Gejala Mpox atau cacar monyet yakni ruam dan lesi di wajah, tangan, kaki, badan, mata, mulut atau kelamin. Kemudian, gejala lainnya yakni demam, pembengkakan kelenjar getah bening, sakit kepala, lesu, nyeri otot dan punggung.

“Dari 54 kasus konfirmasi Mpox di Indonesia yang memenuhi kriteria dilakukan WGS, seluruh berasal dari kelompok clade IIb di tahun 2022 hingga saat ini dengan fatalitas lebih rendah,” ujarnya.

Upaya lain yang dilakukan yaitu Kemenkes memperketat skema pemeriksaan kesehatan terhadap Warga Negara Asing (WNA) yang mengunjungi Indonesia, termasuk WNA yang bertindak sebagai tamu undangan negara untuk mencegah masuknya virus cacar monyet (monkeypox/Mpox).

“Peningkatan kewaspadaan khususnya di pintu masuk negara, misal seperti membuat kuesioner bagi WNA yang menjadi tamu undangan negara,” kata Yudhi.

Menurut dia, ada beberapa hal yang harus diisi oleh WNA dalam kuesioner tersebut, seperti riwayat penyakit, aktivitas kontak, dan tujuan perjalanan terakhir. Dengan begitu pemerintah bisa mendapatkan lebih banyak data atau riwayat dari WNA tersebut sehingga bisa lebih siap bila terjadi sesuatu hal.

“Setelah kita petakan negara tamu dari mana, maka kita punya data yang bagus. Kalaupun sakit, maka tidak disarankan untuk melanjutkan perjalanan,” ujarnya.

Ia mengatakan surveilans masih menjadi tantangan sehingga Indonesia butuh meningkatkan kewaspadaan. Apalagi merespons kasus Mpox yang tahun ini mengalami peningkatan, khususnya di RD Kongo, Afrika, yang mencapai 2.999 kasus.

Menurutnya, peningkatan kasus yang terjadi di negara-negara Afrika disebabkan oleh Mpox clade 1b, yang sebagian besar ditularkan melalui kontak seksual dan fatality rate lebih tinggi dibandingkan clade 2b. Hal ini menjadi dasar diumumkan status kegawatdaruratan kesehatan global Mpox oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 14 Agustus 2024.

Imbauan WHO yang tidak melakukan pembatasan pelaku perjalanan internasional dan vaksinasi yang belum benar-benar diprioritaskan, menurut dia, menjadi pertimbangan bagi Kemenkes mengapa pengetatan terhadap pengunjung mancanegara menjadi lebih penting dilakukan. “Ditambah masa inkubasi paling lama 34 hari (terpapar hingga menimbulkan gejala) sehingga ini perlu kewaspadaan di semua wilayah pintu masuk negara kita,” kata dia.

Kemenkes mengategorikan secara umum situasi Mpox di Indonesia pada tahun ini menurun jika dibandingkan dengan data tahun sebelumnya. Berdasarkan data dari Kemenkes pada Januari-Agustus 2024 mencatat tren kasus Mpox di Indonesia ada 14 konfirmasi dan 74 suspek discarded. Sementara pada 2023 ada sebanyak 73 konfirmasi dan 240 kasus suspek discarded.

“Perlu saya sampaikan mereka berasal dari kelompok clade IIb, dengan fatalitas lebih rendah. Maka itulah yang kita sedang upayakan jangan sampai (clade 1b) masuk,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement