Sabtu 27 Jul 2024 07:03 WIB

Gen Z Dinilai Rentan Jadi Korban Penyebaran Konten Intim di Dunia Maya

Penyebaran konten intim non-konsensual jadi masalah yang muncul di dunia digital.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
kekerasan berbasis gender online (Ilustrasi). Gen Z dinilai rentan mengalami kekerasan berbasis gender online.
Foto: Dok. Freepik
kekerasan berbasis gender online (Ilustrasi). Gen Z dinilai rentan mengalami kekerasan berbasis gender online.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penggunaan internet yang semakin masif memengaruhi interaksi di antara remaja, termasuk dalam hal berpacaran melalui media sosial. Kondisi ini kemudian memunculkan sebuah kerentanan baru berupa kekerasan berbasis gender online, demikian menurut peneliti dari Pusat Riset Kependudukan (PRK) BRIN.

Kepala PRK BRIN, Nawawi, mengatakan dari berbagai bentuk kekerasan berbasis gender online, penyebaran konten intim non-konsensual (Non-Consensual Intimate Image Abuse/NCII) menjadi sebuah fenomena yang kerap muncul dalam proses interaksi yang dilakukan di dunia digital. NCII mengacu pada distribusi foto atau video intim seseorang tanpa sepengetahuan atau konsen mereka.

Baca Juga

“Hal ini memberikan konsekuensi meningkatnya kekerasan seksual terhadap perempuan terutama generasi Z,” kata Nawawi dalam keterangannya, dikutip baru-baru ini.

Peneliti PRK BRIN, Anastasia Septia Titisari, menyampaikan bahwa gen Z memiliki risiko yang besar terhadap kekerasan berbasis gender online dalam bentuk NCII. Pasalnya sejak kecil, generasi Z yang kini mencapai 71,5 juta jiwa sangat akrab dan fasih dengan teknologi dan media sosial, bahkan sangat bergantung pada internet.

“Internet juga telah memengaruhi perbedaan gaya hidup, salah satunya motivasi penggunaan aplikasi kencan pada remaja di mana terdapat 13,9 persen remaja menggunakannya untuk mencari sex partner," kata dia.

Data korban kekerasan berbasis gender online juga masih tinggi. Pada 2022, terdapat setidaknya 82 kasus kekerasan berbasis gender online yang dilaporkan kepada Komnas perempuan. Sementara itu, berdasarkan catatan Polri terdapat sebanyak 3.200 kasus penanganan kekerasan anak termasuk kekerasan seksual melalui media sosial.

Anastasia mengimbau agar orang tua lebih ekstra dalam mengedukasi, mendampingi, dan mengawasi pergaulan anak-anaknya di media sosial. Pasalnya, berdasarkan penelitian yang dilakukan Anastasia pada 2015 diketahui sebanyak 5,3 persen remaja mengaku pernah melakukan hubungan seksual.

“Dan kebanyakan dari mereka melakukan hubungan seksual pertama kali sebelum umur 15 tahun,” jelas Anastasia.

Sementara itu, supaya lebih aman dalam menggunakan internet, ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian kita sebagai pengguna internet. Di antaranya adalah melakukan inventarisasi atas seluruh aset digital milik kita dan memberikan pengaturan keamanan dan privasi, seperti verifikasi 2 langkah dan mengubah kata sandi berkala.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement