Sabtu 20 Jul 2024 14:39 WIB

Suka Stalking? Pakar Ungkap Kaitannya dengan Masalah Mental Serius

Stalking merupakan evolusi dari perilaku obsesi.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Stalking di media sosial. (Ilustrasi).
Foto: Pixabay
Stalking di media sosial. (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Di era digital, fenomena stalking dianggap sebagai suatu hal lumrah dan sepele. Namun menurut pakar psikopatologi Universitas Airlangga, Tri Kurniati Ambarini, stalking memiliki kompleksitas psikologis dan konsekuensi yang serius.

Baca Juga

Tri mengatakan tindakan stalking disebabkan oleh masalah mental yang serius. Menurut dia, orang yang melakukan stalking (stalker) kemungkinan mengalami kecemasan, depresi, atau isolasi sosial karena perilaku mereka yang tidak diinginkan.

Selain itu, stalker juga mungkin berkaitan dengan gangguan mental. “Gangguan kepribadian obsesif-kompulsif, gangguan kepribadian paranoid, atau gangguan kepribadian antisosial bisa menjadi faktor yang mendorong seseorang menjadi stalker,” kata Tri dalam keterangannya, dikutip Sabtu (20/7/2024).

Ia menjelaskan stalking merupakan evolusi dari perilaku obsesi. Perilaku obsesi ini selanjutnya akan berkembang ke fase pencarian informasi tentang target. Ketika pelaku telah mendapatkannya, biasanya pelaku akan mulai mengontak dan mengganggu target, bahkan cenderung mengontrol interaksi target.

Tri juga menyoroti konsekuensi hukum dan dampak pribadi yang mungkin dihadapi oleh stalker. “Pelaku stalking bisa mendapat konsekuensi hukum serius dan reputasi atau karir pelaku rusak dalam jangka panjang,” kata dia.

Dia mengatakan, perilaku stalking dapat merusak hubungan personal dan profesional. Hal ini dikarenakan ketakutan dan ketidaknyamanan yang dialami korban. “Secara keseluruhan, stalking tidak hanya merugikan korban secara langsung. Pastinya, pelaku juga akan memiliki dampak serius dan merusak pada pelaku dalam jangka panjang,” jelas dia.

Untuk mengatasi masalah perilaku obsesi seperti stalking, Tri menyarankan intervensi psikologis individu melalui cognitive behavioral therapy (CBT). Menurut dia, terapi itu efektif dalam mengobati gangguan obsesif kompulsif dan gangguan kecemasan terkait.

“CBT membantu pelaku mengubah pola pikir dan perilaku yang tidak sehat terkait dengan obsesi terhadap. Terapi eksposur adalah salah satu teknik dari CBT, efektif digunakan pada kasus obsesi kompulsif,” kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement