REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa hari lalu, video yang memperlihatkan sejumlah gamers cilik dengan berbagai ekspresi tantrumnya viral di media sosial X. Para bocil itu disebut kecanduan gim daring, seperti FF yang memiliki rating aplikasi 12+ alias game dengan tingkat kekerasan menengah..
Video itu muncul nyaris berbarengan dengan kabar bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah merekomendasikan pemblokiran gim yang dinilai dapat menimbulkan dampak buruk terhadap anak-anak, seperti Free Fire. Pendapat warganet pun terbelah soal ini.
Tak mendukung pemblokiran gim ini, sebagian warganet menyoroti peran orang tua dalam mencegah anaknya mengakses gim yang tidak sesuai dengan kategori usianya. Mengomentari hal tersebut, psikolog anak dan remaja dari Tiga Generasi, Mayang Gita Mardian, menyebut bahwa mencari siapa yang salah ibarat memecahkan teka-teki "lebih dulu telur atau ayam".
Di satu sisi, pengembang gim daring ini, beroperasi secara legal dan memiliki kebijakan usia pengguna, panduan bermain, dan lainnya. Meski begitu, gim daring ini umumnya sangat mudah diakses.
Jadi, menurut Mayang, kontrolnya ada di keluarga. Bagaimanapun, penggunaan gawai sudah tidak mungkin dihindari karena memang banyak manfaatnya, baik dari segi hiburan, pendidikan, maupun untuk pekerjaan.
"Cuma ada segelintir orang tua, yang secara sadar atau tidak, menggunakan gawai sebagai 'obat instan', jadi anaknya nangis terus ketika tak bisa mengakses gimnya sesuka hati, besoknya sampai lempar barang saat minta ponsel. Makin lama perilaku ini akan makin meningkat," kata Mayang, Rabu (24/4/2024).
Terhadap anak yang seperti itu, orang tua perlu merefleksikan pola pengasuhannya, misalnya jika kerap merasa takut untuk mengontrol anaknya. Bisa jadi, ayah dan ibu khawatir dianggap terlalu ketat atau tidak ingin anaknya merasakan pengasuhan dengan banyak larangan seperti yang dulu ia alami.
Padahal, menurut Mayang, kontrol pada anak usia dini memang harus banyak dipegang orang tua. Itu artinya, ayah dan ibu perlu melakukan pengasuhan yang tepat agar anaknya tak sampai menjadi tantrum karena kuota data internetnya habis, membanting ponsel jika ada yang mengecewakannya saat bermain, atau menangis karena tidak diberikan uang untuk membeli aksesori gim favoritnya.
Mayang mengatakan, pengawasan dan pendampingan pada anak sangat penting, apalagi untuk usia di bawah sekolah dasar (SD). Pada rentang usia tersebut, orang tua mau tidak mau harus terlibat.
Selanjutnya, orang tua jangan sampai tidak tahu aktivitas daring anak. Penting memperhatikan jenis aplikasi yang diakses anak berikut batasan durasi aksesnya.
"Tidak bisa cuma aturan durasi melainkan konten dulu di-filter. Untuk game, peruntukan usianya sudah ada," kata Mayang.