Jumat 01 Mar 2024 23:42 WIB

1,9 Miliar Orang Diperkirakan Derita Obesitas pada 2035

Prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa Indonesia usia >18 tahun meningkat.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Qommarria Rostanti
Penderita obesitas (ilustrasi). Berdasarkan laman World Obesity Day diperkirakan 1,9 miliar orang akan menderita obesitas pada 2035.
Foto: www.freepik.com
Penderita obesitas (ilustrasi). Berdasarkan laman World Obesity Day diperkirakan 1,9 miliar orang akan menderita obesitas pada 2035.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Obesitas menjadi salah satu masalah kesehatan yang mengkhawatirkan di Indonesia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi obesitas di kalangan orang dewasa di atas 18 tahun meningkat dari 10,5 persen pada 2007 menjadi 21,8 persen pada 2018. 

Peningkatan ini memperlihatkan kebutuhan mendesak akan strategi yang efektif untuk memerangi masalah kesehatan ini. Wakil Ketua Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI), Dr dr Gaga Irawan Nugraha, Sp.GK(K) mengatakan obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan global. Berdasarkan laman World Obesity Day diperkirakan 1,9 miliar orang akan menderita obesitas pada 2035. Untuk itu, menurut dr Gaga, sangat penting untuk tidak meremehkan kompleksitas ilmiah dari penyakit ini. 

Baca Juga

Dia mengatakan, pemahaman akan keseimbangan energi merupakan hal penting untuk menentukan langkah-langkah efektif demi mengatasi obesitas. "Untuk dapat mengerti konsep keseimbangan energi, penting untuk terlebih dahulu memahami bagaimana otak meregulasi nafsu makan dan faktor-faktor lain yang memengaruhi,” kata dr Gaga di acara diskusi media “Obesitas Terkini, Bukan Hanya Soal Hitung Kalori” dalam rangka Hari Obesitas Sedunia 2024 di Jakarta, Jumat (1/3/2024).

Dr Gaga menjelaskan, otak merupakan pusat pengaturan nafsu dan perilaku makan seseorang yang dipengaruhi oleh tiga penggerak utama. Pertama, homeostatic eating. Homeostatic eating berkenaan dengan hormon-hormon yang meningkatkan rasa kenyang dan meningkatkan rasa lapar. 

“Hormon leptin meningkatkan rasa kenyang. Hormon ghrelin meningkatkan rasa lapar,” ujar dr Gaga.

Kedua, hedonic eating. Hedonic eating berhubungan dengan hormon dopamine serta reseptor opioid dan cannabinoid. Dopamine ini memotivasi atau mendorong seseorang untuk makan.

Sementara itu, reseptor opioid dan cannabinoid menciptakan rasa senang saat mengonsumsi suatu makanan. Contohnya, seseorang akan tetap mengonsumsi makanan yang dia suka meskipun sudah kenyang. 

Ketiga, executive function yang melibatkan pengambilan keputusan untuk makan. Intervensi perilaku memengaruhi executive function atau berkaitan dengan gaya hidup dan pola makan sehat.

Dr Gaga menyebutkan edukasi dan promosi pencegahan obesitas adalah langkah krusial dalam mengatasi masalah obesitas di Indonesia yang sudah kompleks. Dia mengatakan, terapi gizi medis dan aktivitas fisik tidak cukup bagi kebanyakan pasien untuk mengelola kondisi obesitasnya. Bahkan kerap kali pasien memerlukan terapi obat anti obesitas hingga tindakan pembedahan, seperti potong lambung dan potong usus (bedah bariatrik). 

“Lambungnya dipotong, setengahnya, sehingga kemudian tidak bisa menampung banyak makanan dan rasa lapar menjadi berkurang,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement