Senin 05 Feb 2024 21:16 WIB

POI: Jumlah Rumah Sakit Penanganan Kanker Masih Minim, Perlu Ditambah

Minim RS yang memiliki alat deteksi kanker serta kurangnya dokter spesialis.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Qommarria Rostanti
Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Jaya DKI Jakarta, Prof Dr dr Ikhwan Rinaldi, dalam talkshow World Cancer Day 2024 di Car Free Day (CFD) Jakarta, Ahad (4/2/2024).
Foto: Dok POI
Ketua Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI) Jaya DKI Jakarta, Prof Dr dr Ikhwan Rinaldi, dalam talkshow World Cancer Day 2024 di Car Free Day (CFD) Jakarta, Ahad (4/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Total kasus baru kanker di Indonesia mencapai hampir 400 ribu kasus berdasarkan data Globocan tahun 2020. Kasus terbanyak adalah kanker payudara sebanyak 16,6 persen, kanker leher rahim atau serviks sebanyak 9,2 persen, dan kanker paru 8,8 persen, dari semua kasus kanker baru.

Ketiga jenis kanker tersebut memiliki angka kematian tinggi. Umumnya dipengaruhi juga karena diagnosis penyakit yang terlambat atau tertundanya pengobatan oleh berbagai hal. Penyebab terlambatnya diagnosis ini salah satunya karena minimnya rumah sakit yang memiliki alat deteksi kanker, serta kurangnya dokter spesialis.

Baca Juga

Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Onkologi Indonesia (POI), Dr dr Cosphiadi Irawan mengatakan, jumlah rumah sakit penanganan kanker dan dokter spesialis di daerah-daerah masih sangat minim dan perlu ditambah. Ia menegaskan, perlu ditelaah lagi seberapa banyak tenaga medis yang dibutuhkan dan bagaimana menghadirkan konsultannya ke daerah.

“Pemerintah ingin mengadakan satu hospital base, training program untuk konsultan kanker, kami dukung. Tapi siapa yang mengajar? Nanti kan dari UI, UGM, Unpad yang harus kirim orang ke rumah sakit di Singkawang atau Banjarmasin, berarti kan mengurangi SDM di Jakarta,” ujar dr Cosphiadi dalam konferensi pers World Cancer Day 2024 di CFD Jakarta, Ahad (4/2/2024). 

Untuk mendidik satu orang dokter spesialis dibutuhkan dua orang konsultan. Perlu dilihat juga sudah berapa banyak jumlah pasien yang ditangani calon dokter spesialis itu, variasi kompetensinya seperti apa, dan lain sebagainya. Calon dokter spesialis setidaknya harus memenuhi standar kompetensi dan pelayanan yang sudah ditetapkan secara global.

“Jadi begitu, saya setuju adanya hospital base tapi harus dengan merujuk pada persetujuan kolegium, harus sama-sama, ABG (Academic Business and Government). Akademisi ya kami FKUI di Jakarta, Unpad, UGM, termasuk profesi perhimpunan. IDI itu profesi. Sinergi aja,” kata dr Cosphiadi. 

Di lapangan yang terjadi saat ini, misalnya ada pasien kanker di Aceh, itu harus dikirim ke Jakarta. Belum lagi bicara Ambon, Halmahera, hingga Papua, yang setelah dibiopsi untuk diambil sample kanker, lalu processing pathology. Misalnya di Jakarta butuh waktu dua pekan untuk diagnosis, di Papua berarti bisa butuh waktu delapan pekan.

Sementara, kanker ini harus segera dilakukan diagnosis dan langkah berikutnya apakah harus terapi atau minum obat. “Dalam delapan pekan itu penyakit berubah. Dalam 12 pekan stadiumnya bertambah. Ya orang nggak ada yang tahu. Hal ini harus dibenahi, delay of diagnosis, delay of treatment,” kata dia lagi.

Jika melihat jumlah rumah sakit sekarang berdasarkan data BPJS Kesehatan, ada sekitar 2.900 rumah sakit. Lalu ada peran 23 ribu health care, serta banyak rumah sakit tipe D, sementara terapi kanker hanya bisa dilakukan di rumah sakit tipe B yang jumlahnya hanya 400-an dari total keseluruhan tersebut.

Dari 400-an rumah sakit tipe B itu harus dilihat lagi berapa yang komprehensif, dan juga harus di-review satu per satu. Sementara di belahan dunia lainnya, rumah sakit sudah sampai diterapi yang begitu presisi, artinya berdasarkan karakter sel kanker yang kemudian dibawa lagi ke karakter pasien.

“Sakitnya apa, jantungnya gimana. Kalau diagnosis dari Papua atau ambon, distribusinya belum merata. Dari segi apa? Dari segi fasilitas. Fasilitas diagnosis, sumber daya, obat, dan sebagainya. Jadi banyak yang harus dibenahi,” ucap dr Cosphiadi.

Ketua POI Jaya DKI Jakarta, Prof Dr dr Ikhwan Rinaldi memaparkan, karakteristik kanker berdasarkan gejalanya serta langkah yang harus dilakukan dokter untuk pemeriksaan. Tentu itu semua membutuhkan alat yang memadai agar diagnosisnya akurat.

“Langkah pertama yang harus dilakukan adalah biopsi. Biopsi itu mengambil jaringan benjolannya, tapi kadang-kadang pasien itu takut dibiopsi karena katanya itu seperti membangunkan macan tidur, takut menyebar, dan seterusnya. Itu sebenarnya kurang tepat, karena biopsi adalah satu langkah yang wajib dilakukan oleh seorang dokter untuk menentukan kebenaran bahwa itu kanker atau bukan,” ujar dr Prof Ikhwan dalam kesempatan yang sama.

Jika itu benar kanker, maka pengobatan yang dilakukan menjadi jelas untuk kanker. Tanpa pemeriksaan patologi anatomi maka itu tidak bisa dilakukan. Datang ke dokter mana pun, dokter tudak akan bisa mengobati jika tidak dibiopsi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement