REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa waktu lalu, warganet ramai membahas neurodivergen. Sebagian dari mereka menganggap dirinya neurodivergen.
Sebetulnya, apa itu neurodivergen? Istilah nonmedis ini merujuk pada orang-orang yang otaknya berkembang atau bekerja secara berbeda, sehingga memiliki kekuatan dan tantangan yang unik.
Meskipun beberapa orang dengan neurodivergen mungkin memiliki kondisi medis, istilah ini juga mencakup individu yang belum menerima diagnosis medis. Dikutip dari Cleveland Clinic pada Sabtu (3/2/2024), neurodivergen menggambarkan orang-orang yang perbedaan otaknya memengaruhi cara kerja otaknya.
Perbedaan tersebut dapat mencakup gangguan medis, kesulitan belajar, dan kondisi lainnya. Beberapa kekuatan yang dimiliki oleh orang neurodivergen melibatkan daya ingat yang lebih baik, kemampuan memvisualisasikan objek tiga dimensi secara mental, dan kemampuan matematika yang rumit.
Secara lebih luas, neurodivergen adalah cara untuk mendeskripsikan keberagaman cara otak manusia berfungsi, menghindari istilah "normal" dan "tidak normal." Orang yang tidak mengalami neurodivergen disebut "neurotipikal", yang berarti cara otak mereka bekerja dianggap sebagai standar.
Asal-usul istilah "neurodivergen" terkait erat dengan konsep "neurodiversity" yang pertama kali diperkenalkan oleh Judy Singer pada 1998. Ini menyoroti bahwa setiap otak berkembang secara unik, mirip dengan sidik jari yang tidak ada dua yang persis sama.
Meskipun konsep neurodivergen membawa pemahaman tentang keanekaragaman otak, beberapa orang mengkritik istilah ini karena dianggap tidak mempertimbangkan kondisi medis tertentu. Namun, penelitian menunjukkan bahwa menyadari keanekaragaman saraf dapat membantu individu mengatasi perjuangan dan mencapai keberhasilan.
Untuk memberikan gambaran, beberapa contoh kondisi yang dapat diidentifikasi sebagai neurodivergen melibatkan gangguan spektrum autisme, gangguan pemusatan perhatian dan hipertaktivitas (ADHD), disleksia, dan banyak lagi. Penting untuk diingat bahwa setiap individu neurodivergen memiliki keunikan dan perjuangan sendiri.
Banyak orang yang mengalami neurodivergen mencapai kesuksesan dalam berbagai bidang. Berbicara terbuka tentang neurodiversity dapat membantu menghilangkan stigma dan mendorong dukungan yang lebih besar dari masyarakat.
Untuk individu neurodivergen, pendekatan akomodatif dapat membantu mereka berkembang dan sukses. Beberapa contoh terkenal yang mengalami neurodivergen, seperti Temple Grandin, Anthony Hopkins, dan Greta Thunberg, menunjukkan bahwa keberagaman otak dapat menjadi kekuatan dalam mencapai prestasi luar biasa.
Sejarah juga menunjukkan bahwa beberapa tokoh terkenal seperti Marie Curie, Albert Einstein, Vincent Van Gogh, dan Nikola Tesla mungkin mengalami perbedaan otak yang mencirikan neurodivergen. Dalam dunia bisnis, semakin banyak perusahaan yang menyadari manfaat neurodiversity.
Mengakomodasi kebutuhan individu neurodivergen dapat menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan beragam, memberikan keunggulan kompetitif. Sebuah artikel Harvard Business Review bahkan menyoroti neurodiversity sebagai keunggulan kompetitif.
Untuk mendukung individu neurodivergen, penting untuk mendengarkan mereka dengan penuh pengertian, berkomunikasi sesuai preferensi mereka, dan menghindari penilaian berbasis nilai. Memahami bahwa setiap orang neurodivergen unik, dan tidak ada dua orang yang mengalami perbedaan otak yang sama, adalah langkah penting dalam menciptakan lingkungan yang inklusif dan mendukung.