REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang wanita asal Kendal, Jawa Tengah, bernama Niken, memiliki dendam begitu besar pada sang mantan kekasih hingga melakukan tindakan yang berujung dipolisikan. Niken melakukan order fiktif atas nama sang kekasih berupa mebel, elektronik, kendaraan bermotor, jasa angkutan, hingga jasa sedot WC.
Ketika seseorang merasa tersakiti, perasaan dendam adalah hal yang wajar tetapi ada batasannya. Psikolog Viera Adella menjelaskan, balas dendam merupakan perasaan yang mendorong seseorang untuk merasa puas dan bahkan membuat rasa senang.
Berbagai perspektif yang selama ini disampaikan oleh media, tulisan sastra, agama, maupun hukum, mengatakan bahwa balas dendam adalah respons alami (lazim). “Kondisi ini muncul ketika seseorang merasa ada ‘pelanggaran’ yang dilakukan orang lain atas kesepakatan yang mereka buat sebelumnya. Semakin kuat rasa dendam, maka semakin kuat pula dorongan untuk ‘membenarkan’ perilaku yang bahkan bersifat amoral sekalipun,” ungkap Viera saat dihubungi Republika.co.id pada Rabu (31/1/2024).
Dalam kasus Niken, patah hati karena ditinggal menikah orang yang dicintainya menjadi lebih kuat mendorongnya untuk membalas dendam. Apalagi Niken menyebut bahwa "kesuciannya" telah direnggut.
Keyakinan bahwa dirinya telah "dimiliki" secara penuh, membuat ia tidak percaya bahwa pria tersebut akan memutus cinta. “Jelas muncul perasaan ditinggalkan dan tidak hanya itu bahkan dirugikan,” kata Viera.
Untuk meminimalisasi "kerugian" yang diderita Niken, terbentuk dorongan untuk memberikan kerugian yang sama. Menurut Viera, normal atau tidaknya reaksi balas dendam dapat ditinjau dari beberapa perspektif antara lain rasional, emosional, dan moral.
Wajar jika seseorang merasa terluka, tersakiti, atau terkhianati oleh orang lain, terlebih setelah membuat suatu janji untuk saling cinta atau hidup bersama. Namun demikian, jika rasa dendam menjadi beban emosional yang sangat berat dan berlarut-larut, tentu akan mengganggu kesejahteraan mental (well-being) mereka.
Terlebih jika cara membalas dendam yang dipilih melampaui rasio (akal sehat) sehingga menguras tenaga dan pikiran dan susah move on dari dendam. Akibatnya, seseorang terobsesi untuk terus mencari cara-cara lebih buruk bahkan ekstrem melebihi apa yang telah dilakukan orang lain terhadap dirinya.
Pada kasus Niken, rasa sakit hati dilampiaskan dengan melakukan order fiktif yang digunakan atas nama mantan kekasihnya. Secara emosional, bisa jadi Niken puas karena bisa mempermalukan si mantan kekasih. Tetapi, ketika hal tersebut dilakukan secara berlebihan, menjadi tidak lagi rasional karena belum tentu memberi dampak seperti yang ia rencanakan dan inginkan.
Dia mengatakan, mengendalikan diri adalah suatu hal yang positif untuk dikembangkan. Bereaksi secara emosional ketika merasa sakit hati atau dirugikan harus diekspresikan secara asertif untuk menunjukkan bahwa manusia hidup dan menghargai diri sendiri (self-regard).
Menahan diri sebaiknya dilakukan dengan disertai pertimbangan akal sehat. Sebenarnya, lebih tepat disebut mengendalikan daripada sekadar menahan. Coba ajak diskusi orang-orang yang sehat mental dan mempunyai cara pandang positif terhadap masalah.
Dengan menemukan hikmah di balik kejadian, seseorang akan lebih mudah mengurangi bahkan memaafkan keadaan. “Susun strategi untuk mendapatkan kesempatan mengonfrontasikan ketidaksetujuan dan menyampaikan konflik-konflik adalah penting sebelum mencapai suatu titik sepakat dan saling memaafkan,” kata Viera.
Masalah Niken harus masuk ke ranah hukum, yang awalnya hanya ingin balas dendam tetapi malah meluas. Sangat penting bagi Niken didampingi oleh orang-orang terdekat yang dapat menenangkan dirinya, dan memberi kepercayaan bahwa masih ada ruang untuk memperbaiki keadaan.
“Jangan salahkan Niken, tetapi juga tidak boleh membenarkan langkah-langkah ekstrem yang telah ia ambil. Rangkul dia, dan secara bertahap ajak dia merefleksikan kembali mana langkah yang memberi dampak efektif dan kurang efektif bagi dirinya,” ucap Viera.