REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat makan bersama teman atau keluarga, bisa terlihat selera setiap orang terhadap makanan berbeda-beda. Ada yang kurang menyukai hidangan pedas, atau ada yang tidak bisa menyantap hidangan kambing.
Apa yang menyebabkan selera terkait makanan bisa berbeda-beda? Periset dan pakar ilmu sensorik, rasa, dan konsumen, Nicholas Archer, menjelaskan bahwa rasa adalah sistem kompleks yang dikembangkan manusia untuk menavigasi lingkungan.
"Ini membantu kita memilih makanan dengan nilai gizi dan menolak apa pun yang berpotensi membahayakan," ungkap Archer, dikutip dari laman Science Alert, Kamis (30/11/2023).
Makanan terdiri atas berbagai senyawa, termasuk nutrisi (seperti protein, gula, dan lemak) dan aroma yang dideteksi oleh sensor di mulut dan hidung. Sensor-sensor itu yang menciptakan rasa makanan.
Meskipun rasa adalah apa yang dicecap oleh lidah, rasa juga merupakan kombinasi dari indra lain. Bersama dengan tekstur, penampilan, dan suara, indra-indra ini secara kolektif memengaruhi preferensi makanan seseorang.
Disampaikan Archer, banyak faktor yang memengaruhi preferensi makanan, termasuk usia, genetika, dan lingkungan. Setiap orang punya dunia sensoriknya sendiri dan tidak ada dua orang yang memiliki pengalaman yang sama saat makan.
Preferensi makanan juga berubah seiring bertambahnya usia. "Penelitian menunjukkan bahwa anak kecil secara alami lebih menyukai rasa manis dan asin, serta tidak menyukai rasa pahit. Seiring bertambahnya usia, kemampuan mereka untuk menyukai makanan pahit semakin meningkat," kata Archer.
Bukti ilmiah juga menunjukkan bakteri dalam air liur dapat menghasilkan enzim yang memengaruhi rasa makanan. Misalnya, air liur terbukti menyebabkan keluarnya aroma belerang pada kembang kol. Semakin banyak belerang yang dihasilkan, semakin kecil kemungkinan anak-anak menikmati rasa kembang kol.
Baik genetika maupun lingkungan memainkan peran penting dalam menentukan preferensi makanan. Studi terhadap anak kembar memperkirakan genetika memiliki pengaruh sedang terhadap preferensi makanan (antara 32-54 persen, tergantung jenis makanan) pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa.
Namun, karena lingkungan budaya dan makanan yang dikonsumsi juga membentuk preferensi, maka preferensi ini sebagian besar dipelajari. Banyak dari pembelajaran ini terjadi selama masa kanak-kanak, di rumah, dan di tempat lain seseorang makan.
"Ini bukan pembelajaran buku teks, tapi melalui pengalaman makan, yang biasanya mengarah pada peningkatan kesukaan terhadap makanan atau dengan melihat apa yang dilakukan orang lain yang dapat menghasilkan asosiasi positif atau negatif," kata Archer.
Sumber: Science Alert