Jumat 01 Dec 2023 04:02 WIB

Kanker Paru adalah Penyakit dengan Prognosis Paling Buruk, Siapa Saja yang Perlu Skrining?

Faktor risiko kanker paru tidak hanya terkait dengan kebiasaan merokok.

Seorang pria memperlihatkan hasil rontgen paru miliknya. Individu yang memiliki riwayat kanker paru dalam keluarganya juga masuk dalam kategori kelompok berisiko tinggi.
Foto: Nova Wahyudi
Seorang pria memperlihatkan hasil rontgen paru miliknya. Individu yang memiliki riwayat kanker paru dalam keluarganya juga masuk dalam kategori kelompok berisiko tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada tiga kelompok berisiko tinggi terkena kanker paru yang perlu menjalani skrining. Siapa sajakah mereka?

"Pertama, usia 45 sampai 71 kita masukkan dalam program skrining," ujar Ketua Indonesia Association Study of Thoraric Oncology Prof. dr. Elisna Syahruddin, PhD, Sp.P(K) di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Elisna mengatakan seseorang yang pernah menjadi perokok aktif atau mantan perokok dengan waktu berhenti kurang dari 15 tahun juga masuk dalam kelompok berisiko tinggi. Demikian juga dengan perokok pasif.

Selain itu, individu yang memiliki riwayat kanker paru dalam keluarganya juga masuk dalam kategori kelompok berisiko tinggi. Ini berlaku meskipun orang tersebut bukan perokok.

"Ternyata, dari data evidence base itu, kalau di keluarganya itu punya riwayat kanker paru, dia itu berisiko. jadi kerentanan seseorang di keluarga yang ada kanker paru dia lebih rentan, makanya dia perlu skrining," ujar pakar onkologi toraks RSUP Persahabatan itu.

Lebih lanjut, Elisna menjelaskan perbedaan antara skrining dan deteksi dini. Skrining dilakukan pada individu dalam keadaan sehat tetapi memiliki faktor risiko. Adapun deteksi dini dilakukan terhadap individu yang telah bergejala.

Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2022, kanker paru merupakan penyakit dengan prognosis paling buruk, yaitu rendahnya angka tahan hidup dibandingkan dengan jenis kanker lainnya. Untuk pasien yang menjalani terapi kemoterapi pada stadium 4, proyeksi harapan hidupnya dapat mencapai 10 bulan, sedangkan tanpa pengobatan, diperkirakan hanya bertahan selama tiga bulan.

"Untuk meningkatkan angka harapan hidup ada tiga upaya, yang pertama skrining, kedua deteksi dini, yang ketiga pemberian terapi yang optimal," ucap Elisna.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement