REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah pandemi Covid-19 usai, cukup banyak perusahaan menerapkan jam kerja hibrida yakni gabungan antara bekerja dari kantor (WFO) dan bekerja dari rumah (WFH). Ada periode ketika karyawan tidak perlu ke kantor dan bisa menyelesaikan pekerjaannya dari rumah atau dari mana saja.
Meski begitu, rupanya masalah kesehatan mental di antara pekerja dan masyarakat pascapandemi belum juga terselesaikan dengan baik. Menurut badan amal kesehatan mental Mind, dampak dari krisis itu masih mengimbas dunia kerja cukup besar.
Penelitian terbaru dari University College London (UCL) di Inggris, yang menggunakan 338 tinjauan sistematis menunjukkan bahwa depresi dan kecemasan saat ini masih lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Kondisi ini semakin memburuk secara signifikan pada kelompok usia di atas 50 tahun.
Kepala kesehatan dan kesejahteraan mental di Wellbeing, Nicola Eccles, menyebut tanggung jawab seputar kesejahteraan dan kesehatan mental karyawan juga terus meningkat bagi organisasi dan manajer sumber daya manusia (SDM). "Terdapat peningkatan jumlah orang yang mengalami kesulitan dan kita juga mengalami peningkatan jumlah orang yang merasa kewalahan," ujar Eccles, dikutip dari laman The HR Director, Senin (27/11/2023).
Dia mengutip isi buku Four Thousand Weeks karya Oliver Burkman yang menjelaskan bahwa orang-orang sebenarnya sudah memiliki banyak alat manajemen waktu dan produktivitas. Tetap saja, orang-orang masih kesulitan untuk memenuhi tuntutan kehidupan sehari-hari.
Dengan terus-menerus aktif di dunia maya, banyak orang dibombardir dengan informasi tentang kehidupan dan penyelesaian masalah yang ideal. "Budaya kerja keras" berupa kerja 12 jam sehari pun banyak dirayakan dengan keliru oleh para wirausahawan TikTok.
Tidak sedikit orang yang bangun setiap hari dan pikiran pertamanya adalah bagaimana cara mengalokasikan waktu untuk menyelesaikan tugas pekerjaan di hari itu. Padahal, dorongan untuk terus mencapai lebih banyak justru menjadi kontraproduktif.
Sistem kerja hibrida awalnya dilihat sebagai solusi terhadap budaya kerja yang bersifat presenteeism (tetap memaksakan hadir di tempat kerja, padahal dalam kondisi tak sehat atau kurang produktif) serta jam kerja panjang. Namun, pada akhirnya sistem kerja ini malah mengakibatkan banyak karyawan merasa terikat dengan komputer atau ponsel mereka. Sebuah penelitian pada 2021 menggambarkan hal ini sebagai technostress. Karena itu, pelaksanaannya perlu dibarengi dengan manajemen waktu yang baik.
Untuk mengatasi tantangan karyawan yang "stres", perusahaan dan tim SDM lantas merasa perlu untuk ‘memberikan’ sesuatu kepada pekerjanya, mulai dari subsidi keanggotaan gym, buah-buahan gratis, atau acara yang mempererat hubungan tim. Begitu juga sesi terkait kesehatan mental.
Sayangnya, bagi banyak orang, pemikiran untuk mengatasi kesehatan pribadi berada jauh di bawah daftar mereka sehingga hal-hal itu tidak dimanfaatkan drngan optimal. Masalah keluarga, tanggung jawab pengasuhan, dan banyak lagi yang lebih menjadi prioritas.
Dalam pandangan Eccles, upaya membangun ketahanan mental memang harus berasal dari diri karyawan, dan perusahaan cukup menjadi fasilitator. "Organisasi dapat memfasilitasi dengan menyediakan ruang, waktu, dan sumber daya untuk membantu karyawannya membantu diri mereka sendiri," kata dia.