REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Antropologi Universitas Indonesia (UI) Seniarto Aji mengungkapkan, untuk menekan kasus gangguan kesehatan jiwa pada anak muda (17-27 tahun) dapat dilakukan dengan menciptakan aktivitas berdialog antargenerasi secara berkesinambungan.
"Dialog tersebut bisa dilakukan dengan lawan bicara yang lebih muda atau yang diprioritaskan kepada lawan bicara yang usianya lebih tua," kata Seniarto.
Melalui dialog tersebut, menurut dia, anak muda tidak hanya mendapatkan pertukaran informasi tetapi juga mendapatkan pengalaman baru dari lawan bicaranya. Dia mengemukakan pengalaman tersebut penting untuk menjaga perubahan sikap, perilaku, dan cara pikir anak muda dari waktu ke waktu.
Ia mencontohkan tentang perubahan tersebut terlihat bahwa saat ini anak-anak muda tidak lagi membudayakan panggilan abang, adik, dan sebagainya sehingga menimbulkan kesenjangan antara mereka. Padahal, kata dia, pengaruh panggilan seperti itu tidak sederhana tapi maknanya menunjukkan strata usia yang menentukan norma kesopanan dan etika bersosial.
Ia mendapati perubahan-perubahan tersebut dipengaruhi revolusi teknologi dan informasi yang termasuk di dalamnya pemanfaatan sosial media tak terkontrol oleh anak muda. "Kesenjangan yang tak kasatmata ini berimplikasi pada kesehatan jiwa generasi muda. Mereka menjadi penyendiri, mudah sedih, putus asa, masa bodoh dengan lingkungan dan semacamnya," kata dia.
Seniarto yang juga Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI itu, menjelaskan dampak kesenjangan terhadap gangguan kesehatan jiwa anak muda tidak bisa dianggap enteng. Hal tersebut dibuktikan melalui hasil skrining kesehatan jiwa pada mahasiswa baru FISIP UI yang dilakukan sejak 2019 menunjukkan tak sedikit dari mereka tumbuh niat bunuh diri. Interpretasi hasil skrining kesehatan jiwa mahasiswa baru menunjukkan keinginan bunuh diri berada di angka 10,8 persen per tahun.
Meski demikian, ia menyebutkan persentase tersebut masih di bawah kategori seriously considered suicide yang dipatok pada angka 18,8 persen-25,5 persen per tahun. "Namun hal itu tidak mengurangi peringatan untuk memperhatikan isu kesehatan jiwa pada generasi muda yang salah satunya dapat ditekan melalui dialog antargenerasi tadi," kata dia.