REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penulis Asma Nadia menyatakan keberatan atas penggunaan judul film Air Mata di Ujung Sajadah. Alasannya, judul tersebut memiliki kesamaan yang substansial dengan judul novel best seller karyanya, Cinta di Ujung Sajadah.
Asma mengungkapkan bahwa frasa "di ujung sajadah" sudah melekat sangat erat dengan novel karyanya. Tak heran, nama Asma kerap dikaitkan dengan film Air Mata di Ujung Sajadah dalam berbagai pemberitaan di media.
"Dalam pemberitaan, dinyatakan bahwa film Air Mata di Ujung Sajadah diadopsi dari novel Asma Nadia," jelas kuasa hukum Asma, Ana Sofa Yuking SH MH, dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta pada Senin (16/10/23).
Hingga saat ini, lanjut Ana, pihak pembuat film Air Mata di Ujung Sajadah tidak pernah meminta izin kepada Asma untuk menggunakan judul tersebut. Padahal, judul tersebut memiliki kesamaan secara substantif dengan novel Cinta di Ujung Sajadah karya Asma.
"Kami menduga ada indikasi terjadi pelanggaran atas hak kekayaan intelektual terhadap karya klien kami," ujar Ana.
Per Juli 2023, Asma mengungkapkan bahwa pihaknya telah mencoba menghubungi pihak produser film Air Mata di Ujung Sajadah. Secara kekeluargaan, Asma menjelaskan bahwa frasa "di ujung sajadah" sudah digunakan untuk judul novelnya. Frasa tersebut juga sudah sangat melekat dengan namanya.
Pihak produser film, menurut Asma, mengungkapkan bahwa judul tersebut muncul secara spontan berdasarkan sebuah adegan dalam film. Mereka justru menyarankan Asma untuk mendaftarkan judul-judul buku karyanya ke Pusbang Film. Padahal, hak cipta dari sebuah buku sudah melekat secara otomatis kepada penulis setelah buku tersebut diterbitkan.
"Oleh karena itu, pendaftaran di Pusbang tidak ada sangkut pautnya dengan perlindungan judul buku," ujar Asma.
Asma juga menyayangkan karena pihak produser film tidak meluruskan pemberitaan di media yang mengeklaim bahwa film Air Mata di Ujung Sajadah diadaptasi dari novel Asma. Asma mengungkapkan bahwa banyak pembacanya yang menonton film tersebut dan mengira bahwa film tersebut diadaptasi dari novel karyanya.
"Kami meminta pihak produser film Air Mata di Ujung Sajadah segera mengklarifikasi atas dugaan pelanggaran hak cipta ini sesegera mungkin demi melindungi kepentingan hukum dan hak ekonomi klien kami," tambah Ana.
Asma mengungkapkan bahwa penggunaan frasa "di ujung sajadah" pada judul film Air Mata di Ujung Sajadah juga merugikannya. Menurut Asma, Cinta di Ujung Sajadah merupakan salah satu novel karyanya yang banyak dilirik oleh produser film, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Namun dengan hadirnya film berjudul mirip, akan sulit bagi Asma untuk menawarkan novel Cinta di Ujung Sajadah ke rumah-rumah produksi film. Alasannya, mereka akan menganggap bahwa novel tersebut sudah diadaptasi menjadi film.
Sekalipun ada rumah produksi yang tertarik, film adaptasi dari novel Cinta di Ujung Sajadah mungkin harus menggunakan judul yang berbeda. Padahal, Asma merupakan penulis yang telah menelurkan dan mempopulerkan frasa "di ujung sajadah" sejak 2008.
Bila tak diluruskan, Ana menilai masalah ini dapat menjadi preseden yang buruk bagi penulis-penulis lain di Indonesia. Karena seakan, kreasi kata hasil jerih payah penulis bisa digunakan oleh pihak lain hanya dengan melakukan sedikit modifikasi.
"Masalah ini menyangkut kepentingan masa depan penulis di seluruh Indonesia. Melalui press conference ini dan langkah-langkah ke depannya, saya ingin menegaskan bahwa karya, hasil jerih payah, dan seluruh kreasi kata dari teman-teman penulis akan terus dihargai, dilindungi, dan tidak disepelekan walau hanya dengan sedikit modifikasi," ujar Asma.
Asma juga berharap upaya yang dia lakukan saat ini dapat memberikan edukasi sekaligus memberikan keberanian bagi sesama penulis untuk berani speak up bila merasa ada dugaan pelanggaran atas hak cipta. Untuk saat ini, pihak Asma berharap mereka bisa melakukan tabayyun dengan pihak produser film Air Mata di Ujung Sajadah dan mencari jalan keluar yang adil bagi kedua belah pihak.