Rabu 11 Oct 2023 03:27 WIB

Kesehatan Mental dan Fenomena yang Terjadi pada Gen Z

Banyak orang melabelkan Gen Z sebagai generasi lembek atau generasi stroberi.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Gita Amanda
Ilustrasi kesehatan mental.  Banyak orang melabelkan Gen Z sebagai generasi lembek atau generasi stroberi, generasi yang kurang tangguh dalam menghadapi tekanan.
Foto: Pixabay
Ilustrasi kesehatan mental. Banyak orang melabelkan Gen Z sebagai generasi lembek atau generasi stroberi, generasi yang kurang tangguh dalam menghadapi tekanan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini, Selasa 10 Oktober 2023 diperingati sebagai Hari Kesehatan Menta Sedunia. Masalah kesehatan mental masih menjadi topik yang ramai dibicarakan hingga saat ini. Terlebih, itu dikaitkan dengan Generasi Z, mereka yang lahir mulai tahun 1997 hingga 2012.

Banyak orang melabelkan Gen Z sebagai generasi lembek atau generasi stroberi, generasi yang kurang tangguh dalam menghadapi tekanan. Jika sudah terkena masalah, mereka langsung terkena mental breakdown.

Baca Juga

Sejalan dengan ini, laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan memang terjadi lonjakan masalah atau gangguan kesehatan jiwa di kalangan anak remaja.

“Satu survei yang dilakukan di UGM, Yogyakarta, menyebut, satu dari tiga anak remaja mengalami masalah kejiwaan, masalah kesehatan mental. Memang kita perlu concern terhadap masalah ini,” kata Psikiater Lahargo Kembaren kepada Republika.co.id, Selasa (10/10/2023).

Salah satu fenomena yang banyak terjadi di kalangan Gen Z adalah self harm, yaitu melukai diri dengan berbagai cara. Ini bisa terjadi karena ketidakmampuan orang tersebut dalam mengelola emosi dengan baik. Karena mau menyelesaikan masalah secara instan, self harm pada akhirnya dilakukan.

Selain itu, pengaruh pola asuh orang tua juga bisa berkontribusi pada masalah kesehatan mereka. Alih-alih menjadi orang yang bisa dipercaya anak, orang tua malah seringkali bersikap cuek.

“Banyak anak-anak sekarang yang tidak mendapat apresiasi, penghargaan, informasi, dan komentar dari dunia nyata sehingga mereka menerimanya dari dunia maya. Tombol like, love, dan comment, dibuat untuk memenuhi kebutuhan itu,” ujarnya.

Lahargo menyoroti fenomena role play yang masih menjadi tren. Menurut dia, ini menunjukkan anak remaja sekarang membutuhkan relasi dan interaksi dengan orang-orang di dunia nyata. Keabsenan mereka membuat para remaja pada akhirnya mencari di dunia maya. Mereka tidak sadar ada konsekuensi yang harus ditanggung.

Menghadapi Gen Z, orang tua perlu upgrade diri

Sama halnya dengan ponsel, orang tua juga perlu meng-upgrade diri jika berhadapan dengan Gen Z. Zaman telah berubah dan pola asuh lama tidak bisa lagi diterapkan.

Lahargo mengatakan pola asuh yang baik adalah saat orang tua bisa menjadi mitra atau sahabat bagi anaknya. Orang tua bisa berdiskusi dengan anak tentang masalah atau rencana ke depan.

“Gen Z memiliki wawasan luas tapi mereka perlu jangkar di mana mereka bisa berpijak dan di mana mereka bisa tahu nilai-nilai penting dalam hidup mereka. Itu hanya bisa didapatkan dari orang tua yang sudah meningkatkan pola asuh dengan baik,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement