REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Belakangan ini, frasa fetish sering disalahartikan, bahkan dijadikan tameng atas perbuatan kriminal berkaitan dengan seksual. Dalam dunia psikologi, fetish memiliki batasan.
Psikolog Pulih at The Peak Widaningrum mengatakan, pesta seks tidak masuk kategori fetish melainkan sudah masuk ke ranah gangguan mental. Sebagai pasangan, seyogianya, tentu akan mengajak pada aktivitas yang sehat, termasuk dalam aktivitas seksual.
Pasangan harus saling mengingatkan risiko-risiko berbahaya dari aktivitas yang tidak biasa, terutama jika di luar batas norma sosial, budaya maupun hukum (termasuk hukum agama) dan risiko penyakit menular. “Jika pasangan terus menerus menunjukkan gejala fetish, ajak untuk berkonsultasi dengan profesional atau dokter atau psikiater untuk upaya kesembuhannya,” ujar Widaningrum, saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (14/9/2023).
Bagaimana cara menakar apakah fetish seseorang masih normal atau sudah dikategorikan kriminal? Widaningrum menjelaskan, diagnosis gangguan fetish harus menyertakan kriteria yang terdapat di dalam DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke-5), atau pedoman Gangguan Jiwa sebagai acuan dalam klasifikasi gangguan jiwa.
Fetish atau obsesi seksual (fantasi) terhadap suatu objek, pada dasarnya merupakan hal yang wajar atau alami dari kehidupan seksual manusia selama masih terkendali. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan obsesi itu berpotensi menjadi sebuah gangguan yang dapat merugikan orang lain dan mengganggu kehidupan sehari-hari.
Widaningrum mengingatkan penting untuk mengetahui batasan antara fantasi dan kenyataan, serta selalu menjaga norma sosial dan adat budaya yang berlaku. “Perlu kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain di sekitar kita, karena apabila perilaku tersebut telah merugikan diri sendiri atau orang lain, maka dibutuhkan penanganan dari profesional,” kata dia.
Dalam kaitannya dengan hukum pidana di Indonesia, para pelaku dapat dijerat dengan Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU Pornografi karena telah menyebarluaskan penyelenggaraan kegiatan melalui media sosial. Salah satu yang menyimpang adalah pesta seks.
Beberapa alasan pasutri mengadakan pesta seks ini bisa merupakan faktor ekonomi, karena hasil dari keuntungan penyelenggaraan pesta itu dianggap bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun faktor yang lebih utama kemungkinan kondisi ini termasuk dalam jenis gangguan mental atau penyimpangan, karena orang yang melakukan aktivitas ini merasa senang jika melihat pasangannya melakukan hubungan seks dengan orang lain atau secara beramai-ramai.
“Seseorang yang terangsang dengan membayangkan atau terlibat pada hubungan seksual yang aneh dan dilakukan secara berulang. Kelompok disorder ini didefinisikan sebagai sebuah ketertarikan seksual pada objek atau aktivitas yang tidak biasa,” kata Widaningrum.
Preferensi seksual setiap orang bisa berbeda-beda, tetapi bisa dikatakan normal bila tidak sampai mengganggu kehidupan pribadi dan sosial, atau melanggar norma dan hukum. Gejala fetish yang umumnya terjadi ketika sudah di ambang batas normal, yaitu adanya rangsangan seksual yang dirasakan sangat kuat dan terus menerus (setidaknya dalam enam bulan), juga gangguan dalam berhubungan dan mencintai pasangannya, hingga masalah dengan pekerjaan dan relasi sosial.
Untuk memastikan gejala yang dialami pada gangguan ini, dokter atau psikiater akan melakukan pemeriksaan fisik, psikologis, dan juga pemeriksaan laboratorium (terkait penyakit infeksi seksual menular). Dalam beberapa refernasi, terapi untuk gangguan ini dapat berupa psikoterapi, terapi perilaku kognitif (cognitive behaviour therapy), terapi kelompok (group therapy), farmakoterapi maupun terapi keagamaan (religious therapy).
“Di dalam DSM-5, fetishtic disorder termasuk ke dalam Compulsive Sexual Behavior atau perilaku seksual kompulsif yang memiliki ciri-ciri diagnostik, sehingga ini dianggap suatu gangguan (disorder),” kata Widaningrum.