Jumat 04 Aug 2023 23:50 WIB

Makan Tinja demi Puaskan Fantasi ‘Nyeleneh’, Ini Kata Ulama

Seluruh ulama sepakat bahwa kotoran manusia adalah najis.

Rep: Desy Susilawati / Red: Qommarria Rostanti
WC duduk (ilustrasi). Ada perilaku seks menyimpang berupa membayar orang untuk membayar orang.
Foto: www.freepik.com
WC duduk (ilustrasi). Ada perilaku seks menyimpang berupa membayar orang untuk membayar orang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini viral pesta yang dilakukan oleh orang kaya Dubai, Porta Potty. Pesta ini penuh dengan penyimpangan, salah satunya meminta seseorang mengonsumsi kotoran manusia. Menjijikkan bukan? 

Kotoran manusia saja sudah masuk dalam kategori najis. Lalu apakah boleh dikonsumsi? Bagaimana hukumnya dalam Islam?

Baca Juga

Dikutip dari laman Darul Atsar, Jumat (4/8/2023), disebutkan bahwa seluruh ulama sepakat bahwa kotoran manusia adalah najis. Baik kotoran manusia yang masih kecil ataupun yang sudah besar. Adapun mengenai kencing dan kotoran selain manusia, yang mencakup hewan yang boleh dimakan dagingnya dan yang tidak boleh dimakan, ulama berbeda pendapat. 

Asy-syafi’iyah, Al-hanafiyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu Hazm dan Al-Khotthobi, semua berpendapat semua kencing dan kotoran itu najis. Al-Khotthobi berkata, “Dalam hadits ini adalah dalil bahwa kencing adalah najis semuanya, baik dagingnya bisa dimakan ataupun tidak, karena adanya lafadz hadits tersebut secara mutlak berdasarkan keumumannya dan mencakup semuanya”. (dalam kitabnya Al-Mu’allim).

Sementara dalam salah satu firman Allah SWT disebutkan, “Diharamkan kepada kalian Al-Khobaits (kotoran).”

Hadits Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada sholat jika makanan telah dihidangkan dan juga jika ia menahan dua kotoran”.

Mereka mengatakan dua kotoran tersebut adalah kencing dan kotoran. Sehingga mereka berkata, “[Hadits] ini memberitahukan bahwa setiap kencing dan kotoran dinamakan khobats (kotor). Sedangkan khobats (kotor) tidak lain melainkan haram dan yang haram tidak lain kecuali najis” (Al-Majmu’ Fatawa).

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement