REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA---Suntik botox merupakan jenis terapi yang bermanfaat, baik untuk terapi medis maupun perawatan kecantikan. Di balik beragam manfaatnya, botox juga memiliki sejumlah titik kritis yang patut diwaspadai oleh ummat Islam.
Secara umum, botox atau botulinum toxin merupakan obat yang terbuat dari racun yang diproduksi oleh bakteri Clostridium botulinum. Bakteri Clostridium botulinum memang bisa menjadi sangat beracun bila bercampur dengan makanan. "Namun ketika dijadikan bahan aktif, bahan pembuat botox itu tidak berbahaya," jelas Majelis Ulama Indonesia (MUI), dikutip melalui laman Halal MUI pada Ahad (23/7/2023).
Dalam terapi medis, suntik botox biasanya digunakan untuk mengatasi masalah keringat berlebih, mata malas, spasme leher, hingga kandung kemih yang terlalu aktif. Sedangkan dalam perawatan kecantikan, suntik botox kerap digunakan untuk menyamarkan garis halus dan kerutan di area wajah hingga mengatasi masalah rambut bercabang.
Meski dapat memberikan sejumlah manfaat, penggunaan suntik botox kerap menjadi sorotan dalam Islam. Alasannya, ada beberapa titik kritis yang dapat membuat botox bersinggungan dengan bahan-bahan yang terindikasi haram.
"Suntik botox itu sendiri memiliki beberapa hal yang perlu diperhatikan dari cara pembuatan dan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya," lanjut MUI.
Salah satu titik kritis pada botox ini berkaitan dengan proses produksinya. MUI mengatakan bakteri Clostridium botulinum bisa menggunakan media mikrobiologi sebagai media pertumbuhannya. Media mikrobiologi memiliki titik kritis pada sumber nitrogen untuk nutrien pertumbuhan bakterinya. "Yang bisa saja berasal dari ekstrak daging, pepton hidrolisis daging, dan bahan lainnya. Daging inilah yang perlu ditelusur bukan berasal dari babi," ungkap MUI.
Mengacu pada Fatwa MUI Nomor 01 Tahun 2010 tentang Penggunaan Mikroba Dan Produk Mikrobial, produk mikrobial dari mikroba yang tumbuh pada pada media pertumbuhan yang najis hukumnya bisa halal bila memenuhi syarat. Syarat tersebut adalah mikroba dan medianya bisa dipisahkan dan disucikan. "Sedangkan mikroba dan produk mikrobial dari mikroba yang memanfaatkan unsur babi sebagai media pertumbuhan hukumnya haram," jelas Halal Audit Quality Board LPPOM MUI, Dr Ir Mulyorini R Hilwan MSi.
Titik kritis lainnya terletak pada bahan pelarut yang biasanya digunakan dalam penyuntikan botox. Bahan pelarut ini kemungkinan berpotensi tidak halal karena berasal dari serum darah manusia.
Potensi tidak halal ini didasarkan pada Fatwa MUI Nomor 26 Tahun 2013 tentang Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya. Fatwa tersebut menyebutkan bahwa produk kosmetika yang megandung bahan yang dibuat dengan menggunakan mikroba hasil rekayasa genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia hukumnya haram.
Dengan mengacu pada beberapa pertimbangan tersebut, Fatwa MUI Nomor 21 Tahun 2020 tentang Suntik Botox untuk Kecantikan dan Perawatan menyatakan bahwa suntik botox diperbolehkan. Akan tetapi, suntik botox tersebut harus memenuhi sejumlah syarat. Berikut ini adalah syarat-syarat tersebut:
1. Tidak untuk tujuan yang bertentangan dengan syari'at.
2. Menggunakan bahan yang halal dan suci.
3. Tindakan yang dilakukan terjamin aman.
4. Tidak membahayakan, baik bagi diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan, dan dilakukan oleh tenaga ahli yang kompeten dan amanah.
"Suntik botox yang berdampak pada terjadinya bahaya (dlarar), penipuan (tadlis), ketergantungan (idman), atau hal yang diharamkan, hukumnya haram," jelas fatwa tersebut.
Berkaitan dengan hal ini, MUI mengimbau para Muslim dan Muslimah untuk bijak dalam mengambil keputusan, terutama dalam mengonsumsi sesuatu. MUI juga mengimbau umat Islam untuk dapat menimbang baik dan buruk suatu hal atau tindakan sebelum melakukannya. "Ini termasuk dalam hal suntik botox," ujar MUI.