REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Food vlogger dan seleb media sosial sering kali membagikan informasi seputar restoran hingga spot kuliner menarik. Namun terkadang, mereka juga melakukan self claim mengenai status kehalalan dari suatu produk atau restoran.
Sebagai contoh, sebuah restoran menyajikan menu halal dan non halal secara terpisah. Reviewer lalu mengeklaim bahwa restoran tersebut "aman" bagi konsumen Muslim karena pihak restoran memisahkan alat memasak hingga alat makan untuk menu halal dan non halal.
Berkaitan dengan ini, Founder Halal Corner Aisha Maharani mengimbau agar para food vlogger dan seleb media sosial untuk tidak melakukan self klaim atas status kehalalan minuman, makanan, atau restoran yang belum tersertifikasi halal. Melalui akun Instagram pribadinya, Aisha juga mengimbau para food vlogger dan seleb media sosial untuk tidak mempromosikan bundling produk halal dengan nonhalal.
Kepada Republika.co.id, Aisha mengungkapkan bahwa tak ada masalah bila restoran menjual menu halal dan non halal kepada konsumen non Muslim. Namun akan menjadi masalah bila restoran tersebut dipromosikan kepada konsumen Muslim.
"Klaim halal kan nggak bisa sembarangan sekarang karena sudah ada peraturannya ya, UU Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal," ujar Aisha melalui sambungan telepon, Kamis (20/7).
Klaim "aman" atau halal harus disertai dengan bukti berupa sertifikat halal. Klaim seperti "no pork (tanpa babi)", "no lard" (tanpa minyak babi), atau "no alcohol" (tanpa alkohol) tak bisa berlaku lagi sekarang.
Klaim bahwa restoran memisahkan alat memasak hingga alat makan untuk produk halal dan nonhalal juga tak bisa menjadi jaminan. Risiko kontaminasi silang antara menu halal dan non halal masih tetap bisa terjadi lewat beragam cara.
Salah satu contohnya, kontaminasi silang bisa terjadi melalui proses pencucian alat memasak dan alat makan. Kontaminasi silang ini dapat terjadi ketika proses pencucian dilakukan di satu ruangan yang sama atau menggunakan alat mencuci yang sama.
Memang ada perbedaan pendapat terkait alat makan yang terpapar dengan makanan nonhalal, seperti daging babi. Pendapat pertama menyatakan bahwa alat makan yang terpapar daging babi cukup dicuci sekali saja dengan sabun biasa untuk menghilangkan najisnya.
"Tapi, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa babi itu termasuk kategori najis berat, disamakan dengan air liur anjing," ujar Aisha.
Kontaminasi silang juga bisa terjadi melalui konsumen yang datang ke restoran tersebut. Sebagai contoh, konsumen yang membeli menu nonhalal juga membeli menu halal dan menyantapnya bersamaan, atau alat makan berisi menu halal diletakkan berdampingan dengan alat makan berisi menu nonhalal.
"Atau masnya yang masak satu orang. Kita nggak tau dia pegang sana, pegang sini, walau pun semua dipisah," jelas Aisha.
Dalam hal kehalalan, Aisha mengatakan makanan merupakan salah satu produk yang memiliki zero tolerance terhadap paparan bahan haram. Artinya, suatu makanan yang halal sama sekali tidak boleh terpapar oleh bahan nonhalal seperti alkohol atau daging babi.
Berkaitan dengan hal ini, Aisha mengingatkan para Muslim dan Muslimah untuk tidak terjebak oleh narasi yang tidak tepat mengenai status kehalalan suatu produk makanan, minuman, atau restoran. Klaim halal, lanjut Aisha, harus dibuktikan dengan sertifikat halal.
Aisha juga mengimbau agar semua pihak, termasuk pelaku usaha, berhenti membuat klaim halal sendiri. Restoran yang menjual menu halal dan nonhalal di dalam satu tempat juga diimbau untuk tidak membuat klaim halal.
"Sangat tidak bisa ada penyatuan antara menu halal dan nonhalal dalam satu outlet," ujar Aisha.