REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah kapal Titanic yang tenggelam menginspirasi film blockbuster dan industri pariwisata yang berkembang pesat di Kanada, Amerika Serikat (AS), dan Inggris Raya (UK). Termasuk Southampton, Inggris tempat kapal tersebut berlayar, dan St John’s di Newfoundland dan Labrador, kota terdekat tempat ia tenggelam.
Industri ini menarik jutaan pengunjung ke museum dan tugu peringatan di seluruh dunia. Segelintir elite rela mengeluarkan uang banyak demi melihat reruntuhan kapal lebih dekat, dengan turun sejauh 3,8 km ke lokasi bangkai kapal Titanic itu sendiri. Beberapa di antaranya membayar hingga 250 ribu dolar AS atau sekitar Rp 3,7 miliar untuk hak istimewa tersebut.
Baru-baru ini, kematian lima orang di kapal selam Titan OceanGate memperkuat kekhawatiran moral dan keamanan yang sudah lama ada tentang industri eksplorasi Titanic. Peristiwa ini mungkin dapat meredam perjalanan ke reruntuhan itu pada masa depan.
Sebagian orang telah lama menuduh turis Titanic mengubah tragedi menjadi tontonan. Beberapa juga membandingkan keangkuhan Titanic yang terkenal dipasarkan sebagai kapal yang tidak dapat tenggelam dengan tragedi baru-baru ini di atas Titan. Setelah kapal selam tersebut kehilangan kontak pekan lalu, muncul klaim bahwa perusahaan OceanGate tidak mengikuti standar normal industri dalam desain dan klasifikasinya.
“Sama seperti Titanic yang mengajarkan pelajaran keselamatan dunia, demikian juga seharusnya hilangnya Titan,” kata Presiden Titanic International Society, Cahrlie Haas, dilansir BBC, Jumat (30/6/2023).
Menurut Ketua Komite Kapal Selam The Marine Technology Society, Will Kohnen, hanya ada 10 kapal laut yang mampu mencapai kedalaman level Titanic. “Semuanya bersertifikat, kecuali Titan,” katanya.
Sementara itu, pakar Titanic Tim Maltin mengatakan wisatawan harus berhenti menyelam ke bangkai kapal sampai lebih banyak terungkap tentang apa yang terjadi dengan kapal selam Titan. “Kita perlu memastikan bahwa setiap kapal yang turun ke sana disertifikasi,” kata Maltin.
Caroline Heaven, anggota British Titanic Society, setuju. Dia tidak melihat ada gunanya mempertimbangkan perjalanan berbahaya ke bangkai kapal. “Bahaya yang terlibat terlalu besar, kondisinya terlalu sempit, dan jarak pandang terbatas saat bangkai kapal tercapai,” ujarnya.
Tetapi yang lain mengatakan sejarah akan hilang jika perjalanan ke Titanic berhenti selamanya. Lowell Lytle, seorang penulis berusia 91 tahun dan peniru Kapten Smith, mengunjungi lokasi reruntuhan pada tahun 2000 bersama RMS Titanic Inc dan mengatakan bahwa pengalaman itu “luar biasa”.