Selasa 06 Jun 2023 21:05 WIB

Mengapa Serangan Jantung Terparah Paling Mungkin Terjadinya di Hari Senin?

Ada alasan tertentu yang membuat serangan jantung parah terjadi pada Senin.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Reiny Dwinanda
Nyeri dada (ilustrasi). Nyeri dada merupakan salah satu gejala serangan jantung. Selain itu, penderita juga bisa tampak pucat dan berkeringat.
Foto: www.freepik.com.
Nyeri dada (ilustrasi). Nyeri dada merupakan salah satu gejala serangan jantung. Selain itu, penderita juga bisa tampak pucat dan berkeringat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Senin adalah hari pertama untuk memulai segala aktivitas di pekan yang baru setelah libur pada Sabtu dan Ahad di pekan sebelumnya. Menurut penelitian, jenis serangan jantung yang paling parah kemungkinan besar terjadi pada Senin.

Penelitian tersebut mengamati 10.528 pasien yang telah dirawat di rumah sakit di Irlandia dengan serangan jantung spesifik yang disebut ST-segment elevation myocardial infarction antara tahun 2013 hingga 2018. Penelitian itu dipresentasikan pada konferensi British Cardiovascular Society di Manchester, Inggris Raya (UK) pada Ahad (4/6/2023), namun belum ditelaah sejawat (peer-review).

Baca Juga

Dilansir Insider, Selasa (6/6/2023), ST elevation myocardial infarction (STEMI) adalah jenis serangan jantung yang paling serius dan terjadi ketika arteri koroner utama tersumbat sepenuhnya. Menurut Cleveland Clinic di Amerika Serikat (AS), gejalanya meliputi nyeri dada, sesak napas, mual, sakit perut, jantung berdebar-debar, gelisah, berkeringat, dan merasa pusing, meski wanita cenderung mengalami nyeri dada.

Penelitian tersebut menemukan adanya lonjakan kasus STEMI pada awal pekan kerja, paling sering pada Senin, serta lebih dari yang diperkirakan pada hari Ahad. Selain itu, serangan jantung hari Senin bisa dikaitkan dengan siklus tidur tubuh manusia.

Ahli jantung dr Jack Laffan, yang memimpin penelitian di Belfast Health and Social Care Trust, Irlandia Utara, mengatakan korelasi antara STEMI dan awal pekan kerja telah dijelaskan sebelumnya dalam penelitian lain. Menurut dr Laffan, para ilmuwan tidak yakin penyebabnya, dan kemungkinan multifaktorial, tetapi masuk akal untuk menganggap bahwa ritme sirkadian--siklus tidur atau bangun tubuh--berperan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement