Senin 05 Jun 2023 04:01 WIB

Bukan Cuma Laki-Laki, Perempuan Juga Bisa Alami Disfungsi Seksual Ketika Idap Diabetes

Jangan sepelekan risiko disfungsi seksual perempuan pengidap diabetes.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Reiny Dwinanda
Pasangan suami istri (ilustrasi). Gangguan hasrat, gairah, orgasme, dan nyeri seksual bisa usik perempuan diabetes.
Foto: www.rawpixel.com
Pasangan suami istri (ilustrasi). Gangguan hasrat, gairah, orgasme, dan nyeri seksual bisa usik perempuan diabetes.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membicarakan disfungsi seksual masih dianggap tabu bagi sebagian perempuan di Indonesia. Latar belakang budaya ketimuran, rasa malu, dan anggapan bahwa hal tersebut merupakan ranah privat yang tak perlu diperbincangkan jadi beberapa alasannya.

Dokter spesialis penyakit dalam sekaligus konsultan endokrin metabolik diabetes, Made Ratna Saraswati, menyampaikan bahwa disfungsi seksual merupakan hal yang jarang dikeluhkan pasien diabetes berjenis kelamin perempuan. Namun, bukan berarti gangguan itu tidak terjadi.

Baca Juga

Dalam acara "Perempuan Bicara Diabetes" yang diselenggarakan oleh Diabetes Initiative Indonesia (DIID), Ratna membahas mengenai topik tersebut. Dia menyoroti, pemahaman tentang struktur dan fungsi genital perempuan selama ini lebih lengkap dibanding pengetahuan tentang hasrat perempuan.

"Disfungsi seksual pada perempuan belum mendapat perhatian dokter jika dibandingkan dengan disfungsi seksual pada laki-laki. Keadaan ini juga sulit dinilai karena tidak ada instrumen diagnostik untuk menilai secara empiris dan praktis, ujar Ratna saat menjadi pembicara sesi diskusi di Prodia Tower, Jakarta Pusat, Ahad (4/6/2023).

Endokrinologis yang praktik di RSUP Prof IGNG Ngoerah Denpasar, Bali, tersebut menjelaskan, siklus respons seksual terdiri dari hasrat, gairah, orgasme, dan resolusi. Disfungsi seksual bisa terjadi di tiap tahapan, baik disfungsi pada area hasrat, orgasme, maupun nyeri saat penetrasi.

Disebut disfungsi seksual apabila kondisi di mana respons seksual seseorang tidak berfungsi dengan baik berlangsung secara persisten atau terus berlanjut. Kondisi itu lantas menyebabkan stres dan berdampak negatif bagi suatu hubungan.

"Kalau sesaat, bukan disfungsi namanya," ucap Ratna.

Pemeriksaan fungsi seksual selama ini bisa dilakukan secara objektif (termasuk pengukuran suhu dan pelebaran pembuluh darah), serta subjektif (dengan meminta pasien mengisi kuesioner indeks fungsi seksual perempuan). Ratna mengakui penilaian disfungsi seksual perempuan amat rumit dan sukar dinilai.

Namun, sejumlah studi telah mencoba mendalami topik disfungsi seksual, termasuk penelitian yang digagas oleh Ratna. Secara terpisah, pada 2008 dan 2011 Ratna menggarap studi mengenai disfungsi seksual pasien diabetes laki-laki dan pasien diabetes perempuan.

Dosen ilmu penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Bali, itu menjabarkan lebih lanjut tentang studinya mengenai disfungsi seksual perempuan pengidap diabetes tipe dua. Seksualitas perempuan yang dia tinjau dalam studi yakni fungsi rekreasional, bukan reproduksi.

Studi cross sectional tersebut melibatkan 97 perempuan pengidap diabetes tipe dua di poliklinik RSUP Sanglah, Denpasar, Bali. Pengukuran menggunakan indeks fungsi seksual wanita (FSFI) dengan total 19 pertanyaan. Berdasarkan skor jawaban, disfungsi seksual perempuan terbagi dalam empat kategori.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement