REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sebanyak 70 persen anak dengan diabetes tipe satu di Indonesia terlambat terdiagnosis. Kondisi ini membuat mereka berisiko tinggi mengalami komplikasi serius berupa ketoasidosis diabetik (KAD) yang bisa berujung pada kematian.
Pakar endokrinologi sekaligus Changing Diabetes in Children (CdiC) Lead, Prof Aman Bhakti Pulungan, mengungkapkan, angka keterlambatan diagnosis di Indonesia jauh di atas negara dengan sistem kesehatan baik. “Kita itu masih 70 persen pasien kita terdiagnosis telat dengan adanya ketoasidosis diabetik (KAD) ini. Ini kan bisa meninggal,” ujarnya dalam diskusi media di Jakarta, Rabu (10/9/2025).
KAD merupakan kondisi gawat darurat akibat kadar gula darah sangat tinggi. Gejalanya antara lain muntah, sesak napas, hingga penurunan kesadaran. Di negara maju, keterlambatan diagnosis biasanya di bawah 20 persen.
Aman menyebut rendahnya pemahaman masyarakat dan tenaga kesehatan menjadi penyebab utama. Banyak kasus awal salah dikenali sebagai asma, pneumonia, atau bahkan apendisitis. “Dalam satu kasus sampai dioperasi usus buntu, ternyata diabetik tipe satu,” ucapnya.
Ia menegaskan, diabetes tipe satu berbeda dengan tipe dua. Penyakit ini merupakan autoimun yang membuat pankreas berhenti memproduksi insulin, sehingga pasien wajib menjalani terapi insulin seumur hidup.
Aman menilai dokter umum berperan penting dalam menekan keterlambatan diagnosis. Mereka harus mampu mengenali KAD dan memberikan penanganan awal sebelum merujuk ke rumah sakit rujukan. “Semua dokter umum harus paham DM tipe satu. Paling tidak bisa ditangani dulu insulinnya sesegera mungkin,” jelasnya.
Sebagai langkah nyata, Aman memimpin program CdiC yang mendata anak-anak penderita diabetes tipe satu di Indonesia. Program ini menyediakan insulin, alat pemantau gula darah, edukasi, serta pendampingan bagi pasien agar kualitas hidup mereka tetap terjaga.