Kamis 01 Jun 2023 13:28 WIB

Polusi Udara Bisa Picu Batuk-Penyakit Paru, Bagaimana Cara Supaya Tetap Sehat?

Polusi udara bisa terdapat di dalam maupun luar ruangan.

Rep: Desy Susilawati/ Red: Reiny Dwinanda
Seorang warga beraktivitas dengan mengenakan masker di tengah kabut polusi yang menyelimuti udara Jakarta (Ilustrasi).
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Seorang warga beraktivitas dengan mengenakan masker di tengah kabut polusi yang menyelimuti udara Jakarta (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polusi udara kerap terjadi di kota-kota besar, tak terkecuali di Jakarta sebagai ibu kota negara. Polusi udara ini tidak baik untuk kesehatan, bisa memicu batuk, bahkan yang lebih parah adalah penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).

Lalu, bagaimana cara menghindarinya? Kelompok Kerja Asma dan PPOK, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Triya Damayanti, menjelaskan, polusi udara dapat ditemukan di dalam ruangan maupun luar ruangan.

Baca Juga

Polusi udara di dalam ruangan dapat berasal dari asap rokok atau asap dapur dari pembakaran kayu bakar. Sedangkan, polusi udara di luar ruangan biasanya bersumber dari asap pembakaran baik, kebakaran hutan, pembakaran sampah yang terus-menerus, hingga asap pabrik dan kendaraan bermotor.

Pajanan yang lama dari polusi udara tentu saja mendatangkan risiko kesehatan. Polusi udara dari asap kendaraan tidak serta merta menyebabkan PPOK. Penyakit itu tidak muncul dalam satu atau dua hari, namun membutuhkan waktu.

Senada, Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Wiwien Heru Wiyono mengungkapkan, pihaknya pernah melakukan penelitian dibeberapa daerah, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Utara, serta Kepulauan Seribu. Hasilnya menunjukkan polusi udara juga terkait dengan asma.

"Semakin tinggi polusi yang diukur, maka gejalanya semakin lebih tinggi. Di Jakarta Selatan yang lebih kurang polusinya," ungkapnya.

Hanya saja, pihaknya belum melakukan penelitian lanjutan mengenai kaitan polusi dan kesehatan. Ke depannya, menurut Prof Wiwien, itu akan segera diteliti.

"Tingkat mana yang sudah dikatakan berbahaya dan perlu dilakukan tindakan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement