REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polusi udara merupakan salah satu faktor risiko penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Perwakilan Kelompok Kerja Asma dan PPOK, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Triya Damayanti, mengingatkan penyakit tersebut bisa menimpa semua orang.
Dokter Triya menjelaskan PPOK bukan penyakit menular. Ini adalah salah satu infeksi paru non spesifik dengan gejala sesak napas, batuk kronis, berdahak, dan mengi.
"Gejala PPOK mirip asma, tapi bukan asma," ujar dr Triya dalam acara media briefing "Kenali PPOK, Lindungi Parumu" di Jakarta, Senin (29/5/2023).
Polusi udara di luar ruangan dapat berasal dari asap pembakaran, baik di hutan maupun sampah yang terus menerus. Di Jakarta, polusi udara dengan pajanan yang lama tentu saja menjadi faktor risiko, dari asap pabrik hingga emisi kendaraan bermotor.
Polusi di dalam ruangan juga bisa memicu PPOK, seperti dari merokok di dalam ruangan hingga pemakaian kayu bakar saat memasak. Selain merokok secara aktif, faktor risiko utama terkena PPOK ialah pajanan dari pekerjaan karena gas atau bahan kimia lain.
"Faktor risiko PPOK paling utama adalah merokok, polusi udara di dalam ruangan, dan polusi luar ruangan" ungkap dr Triya.
PPOK merupakan penyakit yang sering ditemukan pada orang berusia di atas 40 tahun. Penyakit ini ditandai dengan keadaan peradangan jangka panjang yang menyebabkan terjadinya obstruksi aliran udara di paru.
PPOK termasuk penyakit kronis yang mengenai paru, membutuhkan proses pajanan polutan dalam waktu lama. Yang terkena adalah saluran napas dan menghalangi aliran udara dari dalam paru.
Pasien PPOK akan mengeluh sesak napas sebagai gejala yang dominan. Saluran napas pasien yang sudah terkena PPOK menjadi rusak, begitu juga dengan alveoulus. Terjadi penumpukan slam atau dahak, saluran napas tidak terbuka dengan optimal sehingga terjadi keterbatasan aliran udara.
"Di saluran napas pasien PPOK terjadi hambatan aliran udara, penumpukan mukus atau sekretnya, juga ada penebalan atau pembengkakan inflamasi," kata dr Triya.