REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penderita asma umumnya mengenal pengobatan dengan pelega golongan short-acting beta-agonists (SABA). Contoh pengobatan yang termasuk dalam golongan tersebut ialah inhaler dan nebulizer.
Sering kali, penggunaan pengobatan tersebut menjadi berlebihan. Menurut dokter spesialis paru, HM Yanuar Fajar, obat pelega jenis SABA memang membantu saat terjadi serangan, namun tidak berarti penderita asma akan tergantung dengan obat tersebut.
Penderita asma memerlukan pengobatan lebih tepat agar penyakitnya bisa terkontrol dalam jangka panjang. Dokter Yanuar pun menginformasikan perubahan pedoman dari Global Initiatives for Asthma (GINA).
"Dari GINA ada perubahan, pelega sudah tidak dipakai lagi, melainkan sudah pakai pengontrol, jadi perubahannya itu bukan mengatasi dengan SABA saja, tapi inflamasinya,” kata dr Yanuar dalam acara bersama AstraZeneca, Rabu (10/5/2023).
Dokter Yanuar menjelaskan pengobatan asma dibagi dalam dua bagian, yaitu, pelega dan pengontrol. Obat pelega bisa membuka jalan napas saat serangan asma terjadi dan hanya membetulkan bronkus.
"Obat pelega tidak mengatasi inflamasi," jelas anggota Perhimpunan Dokter Paru Indonesia itu.
Menurut dr Yanuar, sebanyak 90 persen pasien asma merasa sudah enak setelah memakai obat pelega. Hanya saja, beberapa hari atau minggu kemudian, penderita sering mengalami kekambuhan.
Oleh karena itu, penderita asma harus semakin menyadari pentingnya obat pengontrol, bukan lagi sekadar obat golongan jenis SABA. Ketika selesai memakai pelega dan tidak terjadi serangan, seharusnya mereka mendapatkan obat, kedua yaitu pengontrol berbasis long-acting beta-agonist (LABA).
Sebab, obat golongan ini memakai steroid untuk inflamasi yang memiliki sistem kerja sampai 12 jam. Obat ini mengandung inhaled corticosteroid (ICS) supaya inflamasi tidak terjadi terus-menerus.