REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semua anak memiliki hak untuk bermain dan orang tua harus memastikan hak tersebut terpenuhi demi tumbuh kembang yang optimal. Akan tetapi, aktivitas bermain anak memiliki tahapan perkembangan tertentu yang perlu dicermati orang tua. Dengan begitu, cara pendampingannya pun bisa menyesuaikan.
Dokter Pinansia Finska Poetri mengutip teori tahapan permainan anak yang dicetuskan oleh sosiolog Amerika Serikat, Mildred Parten. Praktisi kepengasuhan dan literasi dini yang biasa disapa Pinan itu menyebutkan beberapa di antaranya.
"Ada beberapa tahapan bermain anak sesuai usianya. Di usia dua tahun, tahapannya adalah solitary play, parralel play di umur tiga tahun, associative play di usia empat tahun, dan cooperative play usia lima tahun ke atas," kata Pinan.
Penggagas kelas dan konsultasi daring "Belajar Bareng Bu Pinan" itu memaparkan tahapan permainan pada webinar "Pentingnya Pahami Fase Egosentris pada Anak" yang diselenggarakan oleh jenama Fox and Bunny beberapa waktu lalu. Pinan menjelaskan satu per satu tahapan perkembangan bermain pada anak.
Solitary play artinya anak sudah bisa bermain aktif, tetapi hanya asyik sendiri. Sifat egosentris anak masih dominan, sehingga anak hanya memusatkan perhatian pada diri sendiri dan belum ingin berinteraksi dengan anak-anak lain di sekitarnya.
Selanjutnya, ada tahapan bermain paralel, yaitu anak sudah bisa bermain berdampingan atau berdekatan dengan anak lain. Walau ada kesan anak-anak bermain bersama, sebenarnya mereka bermain sendiri-sendiri namun di waktu dan tempat yang sama atau melakoni jenis permainan sama.
Tahapan lain, bermain asosiatif, artinya anak bisa bermain dengan anak lain serta ada bentuk interaksi sederhana. Pada tahapan ini, mungkin anak bisa saling bertanya, tapi tidak ada bentuk kerja sama atau pembagian peran dalam permainan.
Kemampuan kerja sama dan pembagian peran akan terlihat di tahap berikutnya, yakni tahap bermain kooperatif. Misalnya, sekelompok anak yang bermain sepak bola dengan pembagian peran, serta adanya aturan dan kerja sama dalam kelompok.
Menurut Pinan, di bawah usia empat tahun, kemungkinan anak berebut mainan dengan teman atau saudara masih cukup tinggi. Sebenarnya, anak bukannya memiliki sifat "pelit", tetapi memang belum fasenya untuk berbagi dan bermain secara bergantian. Meski demikian, orang tua tetap bisa melatih anak untuk berbagi.
Caranya, orang tua bisa mengajarkan konsep kepemilikan. Saat terjadi momen anak berebut mainan, orang tua perlu mencermati dahulu soal kronologis kejadiannya beserta mainan milik siapa yang diperebutkan. Jika mainan adalah punya anak, dia punya hak untuk meminjamkan atau mempertahankan.
Apabila mainan itu ternyata dimiliki anak lain, buah hati perlu diberi pengertian bahwa hak memainkan atau meminjamkan ada pada temannya. Ketika anak tetap berebut, beri mereka kesempatan berdiskusi dan membuat pilihan-pilihan.
Berikutnya, orang tua bisa mengedukasi konsep berbagi. Caranya, orang tua bisa sesekali berpura-pura meminjam mainan anak. Jika awalnya ditolak, tidak masalah, namun lama-kelamaan anak akan tergerak untuk meminjamkan dan berbagi mainan.
Ajari pula anak untuk menahan diri, misalnya dilatih menunggu sesuatu mulai 10 detik dan naik secara bertahap. "Orang tua harus jadi penengah, apalagi kalau punya anak lebih dari satu. Mungkin anak tantrum saat keinginannya tidak dituruti, itu wajar, jangan takut anak menangis," ujar Pinan yang juga merupakan konselor ASI dan MP-ASI.