REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei terbaru tentang kesehatan mata pada anak usia sekolah dasar (SD) di Jakarta menunjukkan, jumlah kasus rabun jauh pada anak SD di Jakarta mencapai 40,5 persen. Artinya, empat dari 10 anak SD mengalami gangguan penglihatan rabun jauh.
Hal tersebut dinilai sangat mengkhawatirkan. Pimpinan Tim Pengabdian Masyarakat untuk Kesehatan Mata, Prof Dr dr Nila Moeloek, mengatakan temuan ini lebih tinggi dari beberapa data survei dan studi gangguan penglihatan terutama rabun pada anak Indonesia. Sebelumnya telah ada survei serupa yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun studi beberapa lembaga akademik sebelum masa pandemi.
Menurut Nila, hasil survei ini menunjukkan ada potensi masalah kesehatan dan kualitas hidup jangka panjang bagi negara. Pasalnya statistik empat dari 10 anak SD mengalami rabun jauh mengindikasikan adanya potensi besaran masalah serius yang berdampak langsung terhadap kualitas hidup, kegiatan belajar, hingga proses tumbuh kembang anak.
"Penglihatan adalah salah satu modal penting untuk membentuk kualitas sumber daya manusia yang baik,” kata Nila Moeloek yang merupakan Menteri Kesehatan RI 2014 sampai 2019 ini.
Nila mengatakan, aspek lain yang diduga memiliki hubungan tinggi dengan kasus rabun jauh pada anak adalah aspek penggunaan gawai selama proses belajar dimasa pandemi. Secara lengkap survei yang dilakukan oleh tim peneliti yang terdiri dari dr Kianti Darusman, Dr dr Ray Wagiu Basrowi, dan dr Yitro Wilar ini menemukan beberapa fakta lain selain tingginya prevalensi rabun jauh pada anak.
Data collection dan skrining kelainan refraksi dilakukan di dua sekolah dasar negeri di Jakarta meliputi 269 anak SD kelas empat hingga enam, dengan rentang umur antara 9 hingga 12 tahun. "Ditemukan bahwa hampir separuh anak SD yang menderita rabun jauh adalah anak usia 9 sampai 10 tahun. Bahkan tim peneliti juga melakukan sub analisis untuk melihat persepsi anak SD terkait gangguan penglihatan yang dialami," ujarnya.
Survei menemukan, 54 persen siswa mengalami kesulitan membaca tulisan di papan tulis karena gangguan penglihatannya, 24 persen siswa mengalami kesulitan belajar karena kesulitan melihat dan membaca, serta 38 persen siswa mengakui sulit berolahraga karena gangguan melihat ketika beraktifitas fisik. Temuan ini menunjukkan, dari aspek analisis penelitian kesehatan adanya distorsi subjektif dari kondisi gangguan kesehatan yang bila dibiarkan akan berpotensi mengganggu prestasi akademik. Tentunya juga menghambat perkembangan fisik dan psikologis anak.
Tim peneliti juga sempat melakukan pendalaman persepsi dari data survei ini kepada beberapa guru dan orang tua. Ditemukan bahwa guru sering menemukan murid yang harus berjuang karena kesulitan membaca tulisan di papan tulis. Murid juga kerap memicingkan mata hingga mendekatkan buku bacaan ke arah mata, di mana hal ini tentu saja sudah merupakan gangguan serius terhadap pola belajar mengajar.