Jumat 03 Feb 2023 04:15 WIB

Obat Populer Ini Bisa Tingkatkan Risiko Demensia Hingga 79 Persen

Jenis demensia yang paling umum adalah penyakit Alzheimer.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Reiny Dwinanda
Obat (ilustrasi). Ada cara selain obat untuk mendapatkan tidur nyenyak. Salah satu risiko penggunaan obat tidur yang patut diwaspadai adalah demensia.
Foto:

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seiring dengan semakin meningkatnya masalah tidur sejak pandemi Covid-19 melanda, penggunaan obat tidur pun ikut meningkat. Meski bisa membantu meringankan masalah tidur, penggunaan obat tidur bisa membawa dampak buruk seperti meningkatkan risiko demensia.

Di beberapa negara, obat tidur menjadi salah satu obat yang "populer" dan cukup banyak digunakan oleh warganya. Amerika Serikat misalnya, dikenal sebagai pasar obat dan alat pembantu tidur terbesar di dunia. Menurut data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), ada 8,4 persen warga Amerika Serikat dewasa yang mengonsumsi obat tidur setiap hari selama 30 hari atau lebih pada 2020.

Baca Juga

Hal serupa juga diungkapkan oleh data dari National Health Service di Inggris. Data menunjukkan bahwa ada lebih dari dari sejuta warga Inggris yang menggunakan obat tidur pada 2019.

Secara umum, penggunaan obat tidur bisa bermanfaat dalam mempermudah tidur dan menjaga kenyenyakan tidur. Obat tidur biasanya diresepkan kepada orang-orang dengan gangguan tidur seperti penderita insomnia.

Meski di satu sisi bermanfaat, Mayo Clinic mengungkapkan bahwa semua obat tidur juga memiliki risiko, khususnya untuk orang-orang dengan masalah kesehatan tertentu. Beberapa contohnya adalah pasien penyakit ginjal, pasien penyakit hati, serta lansia.

"Risiko dan manfaat dari berbagai obat tidur bisa berbeda-beda," jelas Mayo Clinic melalui laman resminya.

Salah satu risiko penggunaan obat tidur yang patut diwaspadai adalah demensia. Menurut studi terbaru dalam Journal of Alzheimer's Disease, penggunaan obat tidur bisa meningkatkan risiko demensia hingga 79 persen.

Studi ini dilakukan dengan melibatkan sekitar 3.000 lansia tanpa demensia yang tidak hidup di panti jompo. Sekitar 42 persen partisipan merupakan lansia berkulit hitam dan 58 persen lainnya merupakan lansia berkulit putih.

Selama studi berlangsung, sebanyak 20 persen partisipan terdiagnosis dengan demensia. Penggunaan obat tidur tampak lebih tinggi pada lansia berkulit putih dibandingkan lansia berkulit hitam. Perbedaan ini kemungkinan dipengaruhi oleh status sosial ekonomi para lansia.

Hasil studi menunjukkan bahwa penggunaan obat tidur pada lansia berkulit hitam dan putih sama-sama berkaitan dengan peningkatan risiko demensia. Akan tetapi, peningkatan risiko demensia tampak lebih tinggi pada lansia berkulit putih yang notabenenya lebih banyak mengonsumsi obat tidur.

Peningkatan risiko ini mencapai 79 persen pada lansia yang sering atau hampir setiap hari menggunakan obat tidur. Demensia merupakan sebuah klaster gejala yang berkaitan dengan penurunan kognitif.

Seiring waktu, penderita demensia bisa mengalami kesulitan dalam melakukan aktivitas yang melibatkan kemampuan daya ingat, berbahasa, menyelesaikan masalah, atau berpikir. Jenis demensia yang paling umum adalah penyakit Alzheimer.

Studi lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui lebih jelas mengenai dampak penggunaan obat tidur pada berbagai ras. Terlepas dari itu, tim peneliti menilai orang-orang dengan masalah tidur sebaiknya berpikir panjang sebelum memutuskan untuk menggunakan obat tidur.

Peneliti Yue Leng mengatakan salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah jenis masalah tidur yang dialami oleh seseorang. Bila masalah tidur yang dialami adalah insomnia, maka lini pertama pengobatan yang dianjurkan adalah terapi perilaku kognitif untuk insomnia.

"Bila obat-obatan akan digunakan, melatonin mungkin opsi yang lebih aman, namun kita perlu lebih banyak bukti untuk memahami dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan," jelas Leng, seperti dilansir Express, Kamis (2/2/2023).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement