Rabu 01 Feb 2023 19:04 WIB

Kecanduan Makanan Cepat Saji Bisa Dialami Usia 50 ke Atas

Persentase kecanduan makanan lebih tinggi di antara perempuan dibandingkan pria.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Qommarria Rostanti
Kalangan paruh baya (orang yang berusia lebih dari 50 tahun) dan lanjut usia/lansia (berusia di atas 65 tahun) perlu mewaspadai adiksi atau kecanduan makanan cepat saji. (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Kalangan paruh baya (orang yang berusia lebih dari 50 tahun) dan lanjut usia/lansia (berusia di atas 65 tahun) perlu mewaspadai adiksi atau kecanduan makanan cepat saji. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan paruh baya (orang yang berusia lebih dari 50 tahun) dan lanjut usia/lansia (berusia di atas 65 tahun) perlu mewaspadai adiksi atau kecanduan makanan. Sebuah studi baru di Amerika Serikat mengungkap, hal itu dialami oleh satu dari delapan orang yang terlibat sebagai responden.

Menurut data baru dari "National Poll on Healthy Aging", 13 persen orang berusia 50 hingga 80 tahun menunjukkan tanda-tanda kecanduan makanan dan minuman dalam satu tahun terakhir. Kecanduan makanan terkait dengan menu cepat saji (fast food) dan makanan ultraproses.

Baca Juga

Persentase adiksi jauh lebih tinggi di antara perempuan dibandingkan pria, terutama perempuan berusia 50-an dan awal 60-an. Kecenderungan juga lebih tinggi pada orang dewasa yang lebih tua yang kelebihan berat badan, kesepian, serta dalam kesehatan fisik atau mental yang buruk.

Jajak pendapat didasarkan pada UM Institute for Healthcare Policy and Innovation dan didukung oleh AARP dan Michigan Medicine, pusat medis akademik Universitas Michigan, Amerika Serikat. Psikolog Ashley Gearhardt dan timnya menggunakan kuesioner berisi 13 pertanyaan untuk mengukur adiksi makanan.

Orang dewasa yang lebih tua diketahui menunjukkan gejala kecanduan dengan makanan olahan seperti permen, makanan ringan asin, minuman manis, dan makanan cepat saji. Indikator kecanduan termasuk mengidam, ketidakmampuan untuk mengurangi asupan, dan tanda-tanda withdrawal (gejala yang terjadi setelah konsumsi dihentikan).

Berdasarkan temuan studi, Gearhardt menyarankan bahwa rangkaian pertanyaan standar yang sama harus menjadi bagian dari pemeriksaan di kantor dokter. Ini dapat membantu mengidentifikasi orang dewasa yang lebih tua dengan kebiasaan makan yang memicu ketagihan. Dengan begitu, orang yang menunjukkan tanda adiksi makanan bisa dirujuk ke konseling nutrisi atau mengikuti program yang membantunya mendapat akses terjangkau ke makanan yang lebih sehat.

Untuk memenuhi kriteria kecanduan makanan olahan dalam jajak pendapat, orang dewasa yang lebih tua harus melaporkan mengalami setidaknya dua dari 11 gejala kecanduan dalam asupan makanan olahan. Kriteria yang sama digunakan untuk mendiagnosis masalah terkait kecanduan dengan alkohol, tembakau, dan zat adiktif lainnya.

Gejala kecanduan makanan olahan yang paling sering dilaporkan pada orang dewasa yang lebih tua adalah mengidam yang kuat. Sebanyak 24 persen orang mengatakan bahwa mereka setidaknya sangat ingin makan makanan olahan sekali sepekan, sampai-sampai tidak dapat memikirkan hal lain.

Sebanyak 19 persen mengatakan bahwa setidaknya dua sampai tiga kali sepekan mereka mencoba mengurangi porsi atau berusaha berhenti makan makanan olahan, namun gagal. Sebanyak 12 persen mengatakan bahwa perilaku makan itu membuat mereka sangat tertekan dua sampai tiga kali sepekan.

Gearhardt yang merupakan profesor di Departemen Psikologi Universitas Michigan mengatakan, istilah "kecanduan" mungkin awalnya terkesan berlebihan ketika berbicara tentang makanan. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa otak merespons dengan kuat asupan makanan olahan, terutama yang mengandung gula, pati sederhana, dan lemak. Respons itu mirip seperti pada tembakau, alkohol, dan zat adiktif lainnya.

"Sama seperti merokok atau minum alkohol, kita perlu mengidentifikasi dan menjangkau mereka yang telah memasuki pola penggunaan yang tidak sehat, dan mendukung mereka dalam mengembangkan hubungan yang lebih sehat dengan makanan," kata Gearhardt, dikutip dari laman Science Daily, Rabu (1/2/2023).

 

n Shelbi Asrianti

 

Sumber: https://www.sciencedaily.com/releases/2023/01/230130090408.htm

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement