REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter Spesialis Kandungan (Obgyn) RSUP Persahabatan Jakarta Oni Khonsa mengatakan bahwa terapi kanker serviks yang dijalani seorang perempuan tidak akan mengganggu kualitas hubungan intim ataupun menularkan pada pasangannya. “Saya katakan sekali lagi, pasien yang melakukan terapi ataupun operasi total bukannya sama sekali tidak bisa berhubungan seksual. Mereka bisa sekali, karena vaginanya tidak dihabisi, hanya saja yang tidak ada adalah sebagian atau secara total rahimnya,” katanya dalam Siaran Sehat yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa (3/1/2023).
Ia menuturkan, adanya saran untuk tidak berhubungan seksual terlebih dahulu adalah jika pasien baru saja menjalani terapi misalnya pada tahap lesi atau prakanker. Diharapkan mereka untuk istirahat berhubungan seksual selama 40 hari supaya proses penyembuhan di daerah serviks yang terpotong tidak terganggu dan dapat kembali pulih lebih dulu.
Selebihnya, barulah pasangan boleh melakukan hubungan seksual. Sebab setelah menjalani operasi pun, perempuan tetap bisa berhubungan karena masih memiliki vagina. Hanya saja, terdapat bagian rahim yang hilang.
“Jadi proses berhubungan seksual itu, masih bisa juga dilakukan oleh mereka yang sampai mengalami proses radiasi atau sudah kita sinari tadi,” katanya.
Menurut Oni, justru para dokter berharap para pasien tetap berhubungan seksual supaya area vagina tidak mengalami penyempitan. Selain itu, dari hubungan seksual pula para dokter bisa menilai kondisi terkini dari area serviks tersebut setelah mendapatkan sinar radiasi atau menjalankan kemoterapi, guna mengetahui dampak lanjutan setelah dilakukan tata laksana.
Oni mengatakan bahwa kanker serviks memang memiliki beberapa stadium. Namun, jika pasien baru memasuki tahap lesi, maka fungsi reproduksi seorang perempuanmasih bisa dipertahankan karena hanya sebagian kecil dari rahim yang mendapatkan penanganan.
“Hanya sebagian dari serviks yang terkena masalah yang diambil, sehingga selanjutnya serviks itu penyembuhannya akan menjadi sempurna, bagus, hanya mungkin sedikit lebih pendek. Pada beberapa kasus menghendaki upaya tambahan, ketika wanita tersebut hamil semacam diikat seperti itu agar tidak mudah terjadi persalinan prematur,” ujar dia.
Ia mengatakan, pada tahap awal sekali dimungkinkan untuk dokter melakukan trakelektomi radikal, untuk mengonservasi. Namun, jumlah kasus seperti itu masih sedikit karena rata-rata tidak memungkinkan untuk melakukan tata cara tersebut. Sebaliknya, jika pasien sudah memasuki stadium berat maka tindakan yang bisa dilakukan melalui histerektomi atau mengangkat rahim pasien. Dengan demikian, pasien bisa tidak memiliki anak lagi atau mengalami menopause dini.
“Sehingga ini menjadi operasi yang tentunya membuat pasien tersebut tidak lagi mendapatkan fungsi reproduksi karena rahimnya sudah tidak ada bersamanya,” kata Oni.