REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan pelabelan BPA pada air minum dalam kemasan galon yang diupayakan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menuai kontroversi di kalangan akademisi. Draft awal kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai cenderung diskriminatif hingga mengenyampingkan kepentingan publik lainnya yaitu kebutuhan suplai air minum yang sehat untuk konsumsi harian masyarakat.
Narasi perlindungan kesehatan publik yang menjadi dasar kebijakan pelabelan BPA tersebut dinilai tidak memenuhi urgensi. Hal ini disampaikan dua pakar lintas keilmuan yakni pakar nutrisi dan polimer.
Tanpa adanya urgensi dan kecenderungan diskriminatif terhadap salah satu kemasan air minum, membuat para ahli seperti Guru Besar Bidang Keamanan Pangan & Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Ahmad Sulaeman, menyimpulkan, kebijakan pelabelan BPA pada galon belum perlu. “Rasanya masih terlalu dini, tidak perlu buru-buru. Belum ada data untuk mendukung hal tersebut,” ujar Prof Sulaeman dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Kamis (17/11/2022).
Prof Sulaeman mengatakan, terkait kandungan BPA pada kemasan pangan sebenarnya lebih mengkhawatirkan pada kemasan makanan dalam kaleng. BPA juga ada pada lapisan kaleng ataupun karton kemasan makanan.
Dari berbagai penelitian, paparan BPA umumnya didapati dari makanan kaleng dan hanya sedikit dari kemasan air minum. "Jadi bila mau ada pelabelan BPA harusnya dimulai pada kemasan makanan kaleng dulu,” jelasnya
Salah kaprah lain terkait kebijakan ini adalah kekeliruan rencana melabeli kemasan galon plastik sekali dengan label bebas BPA. “Karena memang bahan baku kemasan galon sekali pakai PET bukan BPA. Jadi yang perlu ditulis pada kemasan itu adalah mengandung etilen glikol, karena bahan baku PET itu etilen glikol, juga ada tambahan zat lainnya yakni, antimon," ujar ahli polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ir Akhmad Zainal Abidin.
Zainal menyebut, sebenarnya ada kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan plastik sekali pakai. Tapi kemudian tiba-tiba mendorong penggunaan galon sekali pakai. "Itu kan tidak rasional,” ujarnya.