REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendidik Prasekolah Rumah Main Cikal Surabaya, Kanaya Bella Safitri mengatakan pola pengasuhan anak usia dini seiring waktu menghadirkan pola yang lebih bermakna dan berorientasi pada kenyamanan dan kesehatan mental anak. Kanaya mengatakan membentuk pola penyampaian komunikasi tanpa kata “jangan” dapat mendorong anak lebih berani mengelaborasi pertanyaan dan memahami alasan boleh atau tidaknya suatu hal dia lakukan dengan situasi dan kondisi yang ada saat itu.
“Studi psikologi menunjukkan anak-anak yang orang tuanya berbicara kepada mereka dan menjelaskan hal-hal yang terjadi di situasi sehari-hari, akan menjadikan mereka kaya kosakata dan lebih mudah memahami dan menerima pembicaraan orang tua,” kata Kanaya dalam keterangan tertulisnya, dikutip Selasa (20/9/2022).
Menurut dia, jika orang tua selalu membangun komunikasi ke anak dengan kata “jangan” yang selalu berulang, maka anak merasa terbatas pergerakannya, bahkan merasa kesulitan dalam menjelaskan suatu keadaan di masa mendatang.
”Jika kita hanya berkata ‘tidak’, ‘jangan’, atau ‘nggak’ terus-menerus, ini juga berpengaruh terhadap perkembangan kosakata yang mereka miliki dan mereka di masa yang akan datang juga cenderung akan kesulitan dalam menjelaskan situasi dan mengelaborasi sebuah hal kepada orang-orang disekitarnya,” ujar Kanaya.
Sebagai pendidik yang memahami pendidikan anak usia dini di jenjang Prasekolah, Kanaya menyebutkan manfaat terbesar yang dapat tumbuh dalam diri anak usia dini apabila orang tua menerapkan pola komunikasi tanpa kata “jangan” adalah menumbuhkan kemampuan berpikir kritis usia dini. Dia menjelaskan bahwa anak-anak dapat berpikir dengan baik, tetapi yang memberikan intruksi dan larangan pun juga harus dapat memberikan komunikasi yang jelas dan baik kepada anak agar mudah dimengerti dan diterima oleh mereka.
“Pola komunikasi tanpa kata ‘jangan’ ini, membantu perkembangan anak dalam berpikir kritis dalam kegiatan sehari-hari. Anak tidak hanya menerima perintah ataupun larangan, tapi ia juga mendapat alasan yang jelas mengapa tidak boleh melakukan hal tersebut,” kata Kanaya.
Dia menekankan jika orang tua melarang anak secara berulang dengan kata “jangan” atau “tidak”, maka anak seiring waktu akan merasa bingung, bahkan frustasi dalam melakukan hal yang ingin dilakukan setelahnya apabila dilarang terus menerus. Misalnya saja, saat orang tua melarang anak untuk tidak membiarkan mainannya berserakan hanya dengan memarahi dan berkata “jangan berantakan begitu!” atau “jangan bermain disini!”, maka anak cenderung sulit menerima pola komunikasi demikian dan bingung karena perintah yang tidak jelas.
Menurut Kanaya, apabila orang tua mulai mengubah pola komunikasinya dengan lebih positif meskipun mengandung larangan, maka anak akan memahami alasan hingga aksi yang harus dilakukan olehnya. Anak akan cenderung lebih mendengarkan dan melakukan larangan tanpa kata “jangan” dan nada yang negatif.
“Apabila kita dapat mengganti kata ‘jangan’ secara positif, anak pun akan semakin memahami apa yang harus dilakukan kemudian, ‘Adik, kamu boleh bermain tapi tolong dirapikan ya karena ibu mau menyapu nanti mainan kamu tersapu dan hilang’,” ujar Kanaya.