Jumat 01 Jul 2022 06:04 WIB

Mengatur Mode Silent pada Ponsel Ternyata Bisa Picu Stres

Sebagian orang akan merasa stres dengan mode 'silent' pada ponsel.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Sebagian orang akan merasa stres dengan mode 'silent' pada ponsel.
Foto: Needpix
Sebagian orang akan merasa stres dengan mode 'silent' pada ponsel.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mengatur ponsel dalam mode "mute" atau getar ternyata bisa memicu lebih banyak stres bagi orang yang memiliki ketakutan akan kehilangan momen atau Fear of Missing Out (FOMO). Notifikasi ponsel yang senyap juga cenderung membuat mereka jauh lebih sering mengecek ponsel.

"Tanpa dengungan atau suara dari ponsel mereka, individu dengan FOMO yang tinggi bisa menggunakan ponsel mereka lebih sering," jelas peneliti Mengqi Liao dari Penn State University, seperti dilansir unitedpressinternational, Jumat (1/7/2022).

Baca Juga

Studi ini melibatkan 138 pengguna iPhone, di mana 42 persen di antaranya menggunakan mode getar dan 8,7 persen menggunakan mode senyap. Pengguna iPhone sisanya menyalakan nada dering pada ponsel mereka.

Sebelum studi selama empat hari ini berlangsung, tim peneliti melakukan survei kepada para partisipan untuk melihat apakah mereka memiliki FOMO. Selama studi berlangsung, perangkat Screen Time juga diaktifkan pada seluruh ponsel partisipan untuk merekam data pasti mengenai frekuensi dan durasi penggunaan ponsel mereka.

Hasil studi menunjukkan bahwa orang-orang yang menggunakan mode senyap menghabiskan waktu paling banyak di media sosial. Mereka juga merupakan kelompok yang paling sering mengecek ponsel. Tak hanya itu, tim peneliti juga menemukan bahwa mensenyapkan notifikasi ponsel dapat meningkatkan perasaan stres pada individu dengan FOMO. Temuan ini telah dipublikasikan dalam jurnal Computers in Human Behavior.

Notifikasi ponsel biasanya disenyapkan untuk membantu pengguna ponsel menghindari distraksi. Namun berdasarkan temuan ini,Liao tak menganjurkan pengguna ponsel untuk mensenyapkan seluruh notifikasi ponsel.

Sebagai alternatif, Liao menganjurkan agar pengguna ponsel hanya menonaktifkan sebagian notifikasinya. Misalnya, tetap mengaktifkan notifikasi dari keluarga dan teman dekat untuk meredakan kecemasan yang mungkin muncul bila seluruh notifikasi dinonaktifkan.

"Kami harap studi kami bisa menginspirasi lebih banyak desain terpersonalisasi untuk notifikasi atau (menginspirasi) desain notifikasi yang lebih baik, yang bisa meningkatkan pengalaman pengguna dalam menggunakan ponsel," ungkap Liao.

Dua ahli yang tak terlibat dalam studi juga mengungkapkan pandangan serupa. Menurut para ahli ini, mengatasi ketergantungan pada ponsel dan menghadapi FOMO tak cukup dilakukan hanya dengan mensenyapkan ponsel.

Terapis sering kali menganjurkan orang-orang untuk mematikan ponsel mereka agar bisa "hadir" dan lebih terlibat dalam aktivitas sehari-hari. Akan tetapi, asisten profesor klinis di bidang psikiatri dari NYU Langone Health, Thea Gallagher, mengatakan studi terbaru ini menyiratkan bahwa saran tersebut mungkin bukan yang terbaik.

"Data menunjukkan hal yang berbeda bila Anda memiliki FOMO. Anda akan secara kompulsif mengecek ponsel Anda lebih sering karena Anda berpikir Anda melewatkan notifikasi," ujar Gallagher.

Psikolog anak dan remaja dari Boston Medical Center, Lovern Moseley, mengungkapkan bahwa FOMO merupakan masalah yang lebih sering ditemukan pada pasien berusia muda. Akan tetapi, ada banyak orang yang sebenarnya memiliki masalah untuk bisa terlepas dari ketergantungan terhadap ponsel.

"(Ponsel) bisa membawa banyak manfaat dalam hal mendapatkan informasi lewat ujung jari, tetapi (ponsel) juga bisa menjadi kehancuran karena mengurangi interaksi sosial akibat kita secara terus-menerus menggunakan ponsel kita," jelas Moseley.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement