REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi terkini mengungkap bahwa perempuan lebih mungkin mengidap long Covid dibandingkan laki-laki. Hasil riset telah dipublikasikan di jurnal Current Medical Research and Opinion.
Menurut riset, kaum hawa 22 persen lebih berisiko mengembangkan kondisi long Covid. Seseorang disebut mengidap long Covid apabila masih mengalami sejumlah gejala Covid-19 meski sudah tidak terinfeksi virus corona.
Para peneliti selama ini memiliki hipotesis bahwa faktor psikososial dan perilaku yang memengaruhi perbedaan berbasis jenis kelamin terkait dampak Covid-19. Namun, studi baru ini memprediksi perbedaan tersebut terkait kondisi biologis.
Sejumlah studi telah mendapati bahwa laki-laki lebih mungkin mengalami penyakit akut yang parah akibat Covid-19. Sebagai pelengkap, riset terbaru menunjukkan bahwa perempuan lebih mungkin mengidap efek jangka panjang.
Studi tersebut melacak beberapa ribu penelitian lain, mencakup data lebih dari satu juta pasien. Selain perbedaan tingkat risiko, penelitian menemukan gejala long Covid berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Pada pasien perempuan yang mengalami long Covid, biasanya mengalami gejala terkait gangguan telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) serta gastrointestinal. Kondisi kejiwaan/suasana hatinya bisa terdampak, selain aspek dermatologis, neurologis, dan komplikasi yang berhubungan dengan reumatologi, seperti kelelahan.
Deretan gejala itu berbeda dengan pasien laki-laki pengidap long Covid. Para pria lebih mungkin mengalami gangguan endokrin dan komplikasi ginjal. Peneliti belum mengetahui penyebab dari perbedaan itu.
Hipotesis para peneliti adalah adanya pengaruh dari faktor sosial dan budaya, seperti pekerjaan yang berbeda antara kedua gender. Bisa pula karena kesenjangan berbasis gender dalam akses ke perawatan kesehatan akut.
Perbedaan biologis juga bisa berperan dalam perbedaan kondisi long Covid kedua jenis kelamin. Respons imun pada tubuh perempuan yang melindunginya dari penyakit akut justru bisa memperkuat dominasi long Covid.
"Perbedaan fungsi sistem kekebalan antara perempuan dan laki-laki bisa menjadi pendorong penting perbedaan jenis kelamin pada sindrom long Covid," ungkap para peneliti dalam studi tersebut, dikutip dari laman New Atlas, Rabu (29/6/2022).
Mereka menjelaskan bahwa perempuan meningkatkan respons imun bawaan dan adaptif yang lebih cepat dan kuat. Itu melindungi dari infeksi dan keparahan awal, sayangnya membuat perempuan lebih rentan terhadap penyakit terkait autoimun yang berkepanjangan.
Masalah yang disorot dalam studi baru tersebut adalah kurangnya data terpilah berdasarkan jenis kelamin dalam penelitian Covid-19. Sebagian besar karya yang ditinjau dalam studi tidak memiliki itu.
Akibatnya, upaya memahami Covid-19 bisa terhambat, khususnya dalam mengembangkan perawatan yang lebih efektif. Studi menyerukan dunia riset untuk fokus pada data spesifik jenis kelamin dalam penelitian yang diterbitkan berikutnya.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut berskala besar yang mencakup jenis kelamin sebagai variabel analitik serta pelaporan data berdasarkan gender. Termasuk, protokol uji klinis menggunakan metodologi khusus.
"Pemahaman menyeluruh tentang bagaimana jenis kelamin secara biologis memengaruhi Covid-19 akan memiliki implikasi penting bagi manajemen klinis dan strategi mitigasi penyakit ini," ujar para peneliti.