Rabu 06 Apr 2022 23:03 WIB

Dokter: Jangan Sampai Anak Sudah Stunting Baru Diperiksakan, Cegah Sejak Dini

Stunting tidak melulu terjadi karena minimnya asupan gizi anak.

Rep: Santi Sopia/ Red: Reiny Dwinanda
Petugas kesehatan menimbang berat badan bayi di Posyandu Delima 33, Palembang, Sumatra Selatan, Rabu (24/3/2021). Memantau pertambahan berat badan bayi merupakan salah satu cara deteksi dini stunting.
Foto:

Berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi stunting sebesar 24,4 persen. Sementara berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi obesitas pada balita sebanyak 3,8 persen dan obesitas usia 18 tahun ke atas sebesar 21,8 persen.

Tren ini diperparah oleh pandemi Covid-19. Survei tahun 2020 yang dilaksanakan terhadap rumah tangga berpendapatan rendah di Jakarta menemukan bahwa makanan bergizi, seperti buah, sayur, daging sapi, ikan, dan kacang-kacangan yang dikonsumsi anak-anak selama pandemi lebih sedikit dibandingkan 2018.

Balita stunting akan berdampak pada penurunan kualitas sebagai sumber daya manusia di masa dewasa. Oleh sebab itu, stunting harus dicegah terutama di 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

Lewat fase itu, gizi seimbang anak pun tetap perlu dijaga. Berbagai cara dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan, seperti pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping (MPASI) yang benar berbasis protein hewani.

Selain itu, pemantauan pertumbuhan yang teratur di fasilitas kesehatan seperti posyandu setiap bulannya juga diperlukan untuk deteksi dini. Tatalaksana segera terhadap kenaikan berat badan yang tidak memadai (weight faltering) terbukti dapat mencegah stunting.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement