REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Perhimpunan Fertilisasi In Vitro Indonesia (PERFITRI) Prof. Dr. dr. Hendy Hendarto, SpOG(K) mengatakan, endometriosis termasuk penyakit dengan kekambuhan tinggi. Karena itu, memerlukan terapi jangka panjang untuk menanganinya.
"Yang perlu mendapat perhatian, karena ini penyakit kronis dan menahun, harus jangka panjang. Kalau tidak, akan jadi masalah karena kambuh," kata dia dalam sebuah konferensi pers virtual, Selasa (29/3/2022).
Prof. Hendy merujuk pada panduan terapi yang dipresentasikan dalam SEUD Congress Stockholm, Swedia, pada 2021 menuturkan, prosedur operasi pun tak bisa menjamin endometriosis tidak akan tumbuh lagi di kemudian hari. "Masih haid, estrogennya masih cukup tinggi, maka kekambuhannya terus berjalan," tutur dia.
Karena itu, pertimbangan pertama dokter dan pasien saat terapi, yakni ada tidaknya keinginan pasien hamil dalam waktu dekat. Bila ada berarti harus program persiapan kehamilannya.
Namun apabila tidak ada, berarti masalah nyeri yang ada sehingga diberikan terapi nyeri berupa pemberian hormon progestin atau pil kontrasepsi ."Nyeri menjadi keluhan terbanyak yakni sebanyak 60-80 persen wanita yang terkena endometriosis. Diberi terapi manajemen hormon. Kalau diberi obat langsung turun nyerinya. Tetapi kalau kita berikan terapi jangka pendek, kambuh lagi. Kekambuhannya sangat tinggi," jelas Prof. Hendy.
Prof. Hendy mengatakan, penanganan endometriosis perlu dilakukan secara efektif dan efisien agar pasien tidak berakhir dengan kondisi lebih parah. Penanganan pun harus disesuaikan dengan keinginan pasien.
"Jangan lihat lesinya, ada kista dan lainnya, nanti tidak selesai-selesai karena kekambuhannya tinggi," kata dia.
Endometriosis merupakan penyakit yang sangat individual, dengan gejala bervariasi, namun yang terbanyak nyeri yang ringan hingga berat saat haid. Deteksi dini menjadi penting demi menemukan penyakit dalam tahap dini.
Dalam upaya diagnosis, dokter perlu memastikan dan memeriksa terlebih dulu penyebab keluhan pasien, semisal nyerinya. "Kalau dulu kami melihatnya nomor satu harus melihat dengan visual, laparoskopi. Masuk kamera ke dalam rongga perut. Itu terlalu lama. Banyak yang tidak mau, makanya jadi molor. Diagnosa terlambat. Maka itu deteksi dini diutamakan," kata Prof Hendy.
Staf Divisi Fertilitas Endokrinologi Reproduksi Departemen OBGYN FKUI-RSCM dr. Achmad Kemal Harzif, SpOG(K), menjelaskan, salah satu yang sering dialami pasien endometriosis yakni keterlambatan diagnosis. Menurut studi, ditemukan rata-rata mereka mengalami keterlambatan diagnosis selama 6-7 tahun.
Merujuk dari data penelitian pasien yang berkunjung ke RSCM, didapatkan rata-rata pasien membutuhkan waktu 6 bulan sejak timbul gejala hingga datang ke dokter. Selain itu pasien juga rata-rata sudah menjalani terapi di 4 fasilitas kesehatan selama 3,5 tahun sebelum akhirnya benar-benar dirujuk. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, salah satunya minimnya pengetahuan terkait penyakit ini.
Kemal mengatakan, untuk mengurangi keterlambatan diagnosis, perlu dilakukan beberapa hal. Pertama jangan menormalisasikan nyeri haid yang dialami.
Pasien kerap tidak mengenali rasa sakitnya sendiri. Apabila nyeri haid terasa dengan intensitas tinggi, mengganggu aktivitas, dan kadang terjadi nyeri di luar haid maka endometriosis perlu dicurigai.
Kedua, kunjungi fasilitas kesehatan dan lakukan beberapa pemeriksaan. "Jika benar endometriosis, pasien akan segera bisa diberikan obat-obatan yang khusus menanganinya," kata dia.
Tujuan pengobatan dilakukan secara lebih dini yakni untuk mengendalikan perkembangan penyakit endometriosis dengan menurunkan kadar hormon estrogen yang memicu perkembangan penyakit dan gejalanya. Pengendalian tersebut harus berada di kadar yang tepat sehingga menghindari efek jangka panjang akibat turunnya estrogen yang terlalu rendah.
Evaluasi pengobatan dilakukan secara berkala setiap 3-6 bulan untuk menilai respon pengobatan dan apabila respon baik maka terapi diteruskan dalam strategi pengobatan jangka panjang.