Selasa 25 Jan 2022 14:58 WIB

Orang Depresi Lebih Mudah Percaya Hoaks Covid-19

Depresi datang lebih dulu sebelum seseorang membaca 'hoaks' Covid-19.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Nora Azizah
Depresi datang lebih dulu sebelum seseorang membaca 'hoaks' Covid-19.
Foto: www.maxpixel.com
Depresi datang lebih dulu sebelum seseorang membaca 'hoaks' Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama pandemi berlangsung, ada beragam misinformasi dan hoaks seputar vaksin Covid-19 yang beredar di tengah masyarakat. Orang-orang yang mengalami depresi cenderung lebih mudah mempercayai informasi keliru tersebut.

"Salah satu hal yang terlihat dari depresi adalah kondisi itu bisa membuat orang melihat dunia secara berbeda," ujar ketua tim peneliti Dr Roy Perlis dari Massachusetts General Hospital, seperti dilansir WebMD, Selasa (25/1/2022).

Baca Juga

Bagi orang-orang yang mengalami depresi, Dr Perlis mengatakan, dunia bisa terlihat sebagai tempat yang muram dan berbahaya. Ketika seseorang sudah berpikir bahwa dunia merupakan tempat yang berbahaya, dia akan lebih mudah meyakini informasi yang menyebutkan bahwa vaksin itu berbahaya. Misalnya, informasi yang menyatakan bahwa vaksin memuat microchip.

"Meski pada kenyataannya vaksin tidak berbahaya," jelas Dr Perlis.

Hal ini diketahui melalui sebuah studi yang dilakukan oleh Dr Perlis dan tim. Dalam studi ini, mereka menganalisis respons yang diberikan oleh lebih dari 15.400 warga Amerika Serikat dewasa melalui sebuah survei daring pada Mei-Juli 2021.

Pada tahap pertama, para partisipan mengisi kuesioner mengenai gejala depresi. Pada tahap kedua, mereka diminta untuk merespons pernyataan-pernyataan seputar vaksin Covid-19.

Dari analisis terhadap respons partisipan, peneliti mendapati bahwa tingkat depresi di antara partisipan tampak tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi. Selain itu, orang dengan gejala depresi juga tampak 2,2 kali lebih mungkin mendukung satu dari empat pernyataan keliru mengenai vaksin Covid-19.

Di antara orang-orang yang mendukung pernyataan keliru mengenai vaksin Covid-19, sebanyak setengahnya tidak vaksinasi. Selain itu, mereka juga 2,7 kali lebih mungkin melaporkan keengganan untuk vaksin.

Dua bulan kemudian, peneliti meminta lebih dari 2.800 partisipan untuk mengisi survei lain. Para partisipan yang menunjukkan tanda depresi pada survei pertama tampak dua kali lebih mungkin untuk menyebarkan misinformasi seputar vaksin.

Tim peneliti juga menemukan bahwa hubungan antara depresi dan kepercayaan terhadap misinformasi vaksin Covid-19 tidak dipengaruhi oleh asal sumber informasi yang berbeda. Hal ini juga tidak dipengaruhi oleh pandangan politik atau demografi kelompok.

Temuan ini telah dipublikasikan secara daring pada 21 Januari di JAMA Network Open. Berdasarkan temuan dalam studi ini, peneliti memang belum bisa menyimpulkan bahwa depresi secara langsung menyebabkan seseorang lebih mudah percaya pada misinformasi atau hoaks.

"Tapi data menunjukkan bahwa depresi datang lebih dulu sebelum misinformasi, yang mana, bukan misinformasi yang membuat orang lebih depresi," ungkap Dr Perlis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement